TUGAS KOMENTAR
Disusun
guna memenuhi tugas:
Mata
kuliah
Dosen
pengampu
|
:
:
|
Politik Pendidikan
H. Ahmad Mutammam, M.Ed
|

Disusun
oleh:
MOH ABAN FALAHI (342112020)
PROGRAM
STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM KI AGENG PEKALONGAN (STAIKAP)
2014
BAB I
POLITIK PENDIDIKAN
SEBAGAI KAJIAN AKADEMIS
Pada bagian ini, saya akan mencoba mengomentari
apakah politik pendidikan sebagai sebuah kajian akademis. Terlebih dahulu saya
akan menjelaskan apa itu pengertian politik, pengertian pendidikan, dan
mengenai apakah sebenarnya kajian politik pendidikan, bagaimana sejarah,
perkembangan, dan keberadaannya di Indonesia. Sebelum berkomentar saya
cantumkan cuplikan beberapa ahli mengenai ilmu politik.
v Roger
F. Soltau dalam introduction to politics,
“ Ilmu politik mempelajari Negara, tujuan-tujuan Negara, dan lembaga-lembaga
yang akan melaksanakan tujuan-tujuan itu, hubungan Negara dengan warga
negaranya serta dengan Negara-negara lainnya.”
v J.
Barents, dalam ilmu politika, “ Ilmu
politik adalah ilmu yang mempelajari kehidupan bernegara, yang merupakan bagian
dari kehidupan bermasyarakat; ilmu politik mempelajari Negara-negara itu
melakukan tugas-tugasnya.
v Joyce
Mitchell dalam bukunya Political of
analysis and public policy, “Politik adalah pengambilan keputusan kolektif
atau pembuatan kebijakan umum untuk masyarakat seluruhnya.”
Selanjutnya
beralih pada pengertian pendidikan itu sendiri, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa pendidikan adalah proses pengubahan
sikap dan tata laku seseoran atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Dari beberapa
pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan persamaan dan perbedaan antara
politik dan pendidikan.
Persamaan
:
-
Politik dan pendidikan sama-sama berkaitan
dengan urusan manusia hidup di dunia.
-
Alat untuk
mencapai tujuan
-
Manusia sama
sekali tidak bisa dikatakan apolitis dan tidak berpendidikan secara total
Perbedaan
:
-
Politik lebih
berkaitan dengan pencapaian posisi manusia dalam wilayah atau sebuah kekuasaan,
baik itu skala besar atau kecil.
-
Pendidikan lebih
pada pencapaian manusia memperoleh pengetahuan, kecerdasan dan ketrampilan
untuk persiapan hidup kedepan atau terjun dalam masyarakat yang lebih luas.
Menurut
saya politik dan pendidikan ibaratkan dua sisi mata uang yang tak
terpisahkan, antara keduanya saling
berkaitan. Realitanya politik membutuhkan trik dan strategi yang jitu untuk
mencapai tujuan tertentu juga pendidikan selamanya selalu mengarahkan dan
menghantarkan pada suatu kebijakan politik tertentu. Kajian politik
pendidikan harus kita fokuskan yang
menangkut studi komparatif terhadap pengaruh Negara, manajemen/control terhadap
pendidikan, dan yang terpenting kajian politik pendidikan selalu berkaitan erat
dengan perkembangan mutakhir kehidupan social dan politik di negeri ini.
Menurut
saya kajian politik pendidikan harus terus digalakkan secara konsisten terutama
oleh kalangan intelektual secara proporsional. Karena politik pendidikan
nasional berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pendidikan yang dilakukan sebuah
bangsa untuk mencerdaskan anak didiknya. Hal tersebut berkaitan dengan
birokrasi pendidikan, anggaran pendidikan, kebijakan kurikulum nasional, dan
lain sebagainya.
Kita
harus membedakan antara politik pendidikan dengan pendidikan politik, kemudian
membedah politik pendidikan sebagai sebuah kajian akademis dan bagaimana
praktik politik birokrasi pendidikan, politik anggaran pendidikan, politik
pemerataan pendidikan, politik kebijkan UN, dan politik kurikulum, yang
semuanya itu merupaka alat politik pendidikan nasional sehingga kita dapat
mengetahui ukuran keberhasilan dan kegagalan tersebut adalah sesuai niatan,
tujuan pendidikan nasional.
Seperti yang dikatakan
oleh muhammad rifai bahwa “
negara kita ini memakai ideologi pancasila” yang berarti seharusnya
indonesia mempunyai Nilai-nilai luhur pancasila berpijak atau bertumpu
pada konsep kemakmuran dan keadilan hal itu berarti kemakmuran yang
dicita-citakan harus dinikmati dan merupakan hak semua warga Negara Indonesia
tanpa kecuali dengan memberikan kesempatan yang sama merata pada seluruh rakyat
untuk menggapainya ,hak yang sama untuk mengecap pendidikan mulai dari taman
kanak-kanak sampai perguruan tinggi dan untuk mendapatkan pendidikan yang
bermutu/berkualitas ,menggunakan semua fasilitas (sarana dan prasarana
pendidikan).
Dan demikian pula kebijakan pendidikan dalam era globalisasi yang
terlalu melihat keluar (outward looking) sehingga meninggalkan masalah-masalah
domestic,benar kita harus mempersiapkan bangsa kita untuk menghadapi era
globalisasi tersebut tetapi kita harus sadar bahwa perkembangan pendidikan kita
masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Negara-negara tetangga, ini
adalah masalah-masalah yang konkrit dalam dunia pendidikan kita ditanah
air,jadi kita benahi dulu mutu pendidikan dalam negeri kita kemudian kita
mempersiapkan bangsa kita untuk menunju pasar bebas tersebut.
Kebijakan politik diera globalisasi hendaknya juga diarahkan /ditujukan
untuk memperkuat rasa harga diri manusia Indonesia,karena dengan rasa harga
diri yang kuat manusia itu mempunyai kemerdekaan (manusia yang bermutu,manusia
yang siap pakai).Identitas manusia,identitas kelompok,identitas suatu bangsa
merupakan ungkapan dari kemerdekaan seseorang dalam menentukan eksistensinya
sendiri didunia ini (ia akan menentukan kemana arah ia akan melangkah sesuai
kualitas dirinya)Inilah wujud kebijakan pendidikan yang didasarkan kepada moral
Pancasila.
BAB
II
DASAR
DAN TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL
Saya
berpendapat mengenai dasar dan tujuan pendidikan nasional sudah jelas dan
terang bahwa dasar diadakannya pendidikan tidak lain sumbernya adalah Pancasila
dan UUD 1945. Kedua hal tersebut merupakan landasan bagi kita untuk hidup
bersama dalam keberagaman suku, budaya, ras, dan agama. Lebih jauh lagi kedua
hal tersebut menjadi tuntutan dalam menerapkan perundang-undangan lannya,
terutama penyelanggaraan pendidikan nasional.
Catatan
sejarah mengatakan munculnya pancasila sebagai bentuk pertemuan berbagai pikiran
para the founding father dengan latar belakangnya masing-masing yang melihat
keragaman budaya, agama, bahasa, dan suku di Indonesia agar bersatu dalam satu
wadah kebangsaan dan kenegaraan dengan tetap menghargai perbedaan tersebut.
Sementara
itu, tujuan pendidikan nasional tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan
bahwa salah satu tujuan NKRI adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia seutuhnya. Menurut saya makna tujuan pendidikan nasional
yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya terlalu
rumit, luas dan bersifat umum. Karena hal ini menyangkut pembentukan
kepribadian manusia Indonesia yang beragam dan ini akan menjadi sebuah beban
pada pelaksanaannya,
Bisa
disimpulkan dari tujuan pendidikan nasional
melalui data yang merunjuk pada UU pendidikan nasional dari orde lama
sampai orde reformasi. Fokusnya adalah meningkatkan kecerdasan, mengembangkan
kemampuan bakat,potensi, berakhlak mulia, bertuhan, demokratis, pluralis, dan
berketrampilan, kemandirian yang kuat, penuh tanggungjawab, menghormati
tradisi, dan mengikuti perkembangan
zaman, informasi dan teknologi. Dari sini kita dapat melihat bagaimana tujuan
pendidikan nasioanal bisa dikatakan hampir mencakup semua segmen, baik ekonomi,
sosiaol, budaya, politik maupun sejarah kebangsaan kita.
Akan
tetapi, persoalannya adalah kita melihat bagaimana dari oerkembangan tujuan
pendidikan nasional terdapat beberapa perubahan, berkaitan perincian tujuan
tersebut kelewar detailnya, padahal seharusnya merupakan wilayah penjabaran dan
turunan dari gerakan mencapai tujuan tersebut dan saya lebih cenderung setuju
dengan tujuan pendidikan menurut Jacques Delors, yang kemudian dikenal dalam
empat pilar pendidikan versi UNESCO, sebgai berikut :
a. Learning to know,
belajar untuk mengetahui
b. Learning to do,
belajar untuk dapat berbuat
c. Learnig to be,
belajar untuk menjadi dirinya sendiri
d. Learning to live
together, belajar untuk hidup bersama dengan orang lain.
Menurut
saya tujuan pendidikan UNESCO terlihat sederhana, umum, tetapi menunjukkan
kecerendungan natural manusia yang humanis. Dan menjadi tugas bagi para
penanggungjawab dan pengelola atas politik pendidikan nasional dari atas sampai
bawah yaitu eksekutif(presiden), legislative(parlemen, kementrian atau depatemen
pendidikan pusat), pengatur tingkat pusat(propinsi dan kabupaten), pengatur
tingkat daerah(kecamatan dan desa), pengatur wilayah paling kecil(kepala
sekolah, guru, sekolah, dan pelaksana pendidikan).
Bentuk
pelaksanaan dasar dan tujuan diadakannya pendidikan nasional jiga bisa dilihat
dari bagaimana pemerintah membuat jenis dan jenjangnya, dari pendidikan dasar
sampai pendidikan tinggi, dari pendidikan formal, non formal, informal,
pendidikan kedinasan, maupun sekolah luar biasa atau pendidikan terbuka. Pemerintah
juga membuat kurikulum nasional, pemerataan, dan peningkatan kualitas
pendidikan. Pemerintah juga mengadakan desentralisasi pendidikan, otonomi
pendidikan tinggi, dan mengupayakan pembiayaan pendidikan nasional 20% dari
APBN dan APBD.
Dari
sanalah kita akan melacak perjalanan dan bagaimana politik pendidikan nasional
diterapkan. Jika tujuan diadakan pendidikan nasional begitu mulia, misalnya
mencerdaskan kehidupan, mengangkat harkat martabat manusia, mengembangkan
bakat, serta menciptakan manusoa yang bermartabat dan berakhlak mulia, mengapa
saat ini kondisi pendidikan nasional masih morat-marit, masih belum
mencerdaskan, dan terjadi kekerasan , korupsi, dan akses pendidikan yang mahal. Tentunya, hal ini menjadikan saya
beranggapan bahwa ada yang salah dari operasional politik pendidikan nasional
tersebut.
Para guru atau pendidik di Indonesia
hari ini, tidak bisa lagi hanya menjalankan tugas seperti halnya dilakukan para
guru masa lalu. Tantangan dan persoalan serta kondisi anak didik maupun lingkungan
sekitar sudah jauh berubah dan sangat berbeda, sehingga mengharuskan adanya
para pendidik yang berkemampuan luar biasa, pendidik yang benar-benar
profesional. Diharapkan dengan adanya guru yang profesional di dalam kelas dan
berperilaku menjadi teladan bagi anak didik di dalam maupun luar kelas,
ditambah dengan dukungan peran orang tua, lingkungan masyarakat yang kondusif,
dan pemerintah yang kebijakannya konsisten dan mantap menopang kemajuan
pendidikan, pada saatnya pencapaian kualitas pendidikan di Indonesia akan dapat
terpenuhi dengan baik.
Ini
semua menjadi otokritik bagi kita semua, sehingga memasuki tahun 2014
seharusnya semua pihak dapat bergerak bersama-sama membenahi dunia pendidikan
di Indonesia, sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing untuk mencari solusi
terbaik mengatasi problematika pendidikan di tanah air. Tapi, peran pemerintah
juga harus hadir cukup kuat di tengah masyarakat, untuk mewujudkan pendidikan
yang berkualitas di negeri kita ini.
BAB
III
BIROKRASI
PENDIDIKAN YANG RUMIT
Menurut
saya makna birokrasi sendiri itu untuk kepentingan orang banyak, sehingga
pelaksanaannya pun harus bisa mempermudah mengatur suatu pekerjaan. Namun kita
beranggapan bahwa birokrasi sering dikaitkan dengan keterikatan dan kekauan
orang atau kelompok orang yang sudah masuk dalam salah satu birokrasi. Maka,
hal ini tidak semata-mata disebabkan oleh perilaku birokrat, tetapi system atau
tindakan lembaga yang memiliki birokrat tersebut. Kendala dalam lingkup
birokrasi inilah yang menjadi belenggu dahsyat terhadap kreatifitas, inovasi,
dan imajinasi pimpinan dalam menjalankan leadership management.
Terkadang
kita terkalahkan bahkan tersingkirkan hanya karena sebuah birokrasi,
seakan-akan birokrasi menjadi tembok penghalang kita yang seharusnya menjadi
jalan tol untuk menjalankan sesuatu. Paradoks birokasi pendidikan nasional di
satu sisi arah kebijakan pembangunan nasional secara umum ke depan adalah
menyukseskan terselengaranya otonomi daerah di bidang pendidikan da kebudayaan
dengan prioritas melanjutkan
peningkatan, perluasan, pemerataan, kesempatan mendapatkan pendidikan,
peningkatan mutu, efesiensi, dan efektifitas pengelolaan pendidikan da
kebudayaan. Namun di sisi lain, penguasa lebih mementingkan target daripada
proses. Ada kecenderungan amat politis di dalamnya. Di satu sisi ada upaya
untuk meningkatkan kemampuan akademik dan professional serta meningkatkan kesejahteraan tenaga
pendidik sehingga mampu melaksanakan tugasnya secara optimal.
Kemudian
lembaga pendidikan di Indonesia lebih cenderung
pada pendekatan birokrasi, terutama lembaga pendidikan negeri. Untuk
yang swasta, karena mereka harus mengikuti standar nasional dan standar yang
mengatur itu dalah depdiknas, dengan sendirinya mereka ikut-ikutan menjadi
birokratis. Karena bisa dikatakan bahwa birokrasi inilah yang menentukan
perjalanan semua lembaga pendidikan nasional.
Menurut
saya seharusnya birokrasi memeberikan pelayanan baik bagi kelancaran jalannya pendidikan dan
kemajuannya, Birokrasi diharapkan mampu berperan vital. Reformis, dinamis,
inovatif, aspiratif, transparan, dan bersifat mengayomi, tetapi sanpai saat
ini, ternyata birokrasi era reformasi
tidak jauh berbeda dengan orde baru. Birokrasi saat ini masih saja
kehilangan kepekaan tehadap pengembangan pendidikan sebagai penghargaan
tertinggi terhadap nilai kemanuisaan manuisa. Akibtanya lahirnya manusia yang
siap pakai yang sama dan sebangun. Bukan perintis, pemberani bertindak akhlak
mulia.
Saya
setuju bahwa pendidikan yang unggul memang memutuhkan anggaran dan kemampuan SDM yang ahli di bidangnya. Namun masih ada yang
luput dari perhatian kita. Departemen Pendidikan Nasional membutuhkan struktur dan mekanisme birokrasi
yang kondusif untuk berkembangnya gagasan seta pemikiran agar dapat mendorong
inovasi dalam system dan proses pendidikan secara berkelanjutan. Sampai saat
ini, struktur birokrasi memegang peran luar biasa dalam menghasilkan semua
keputusan daripada para pemikir atau analis pendidikan.
Politik
birokrasi pendidikan nasional bisa saya simpulkan bahwa birokrasi pendidikan
nasional di zaman reformasi ternyata masih saja belum menampakkan pembaruannya.
Birokrasi kita masih rumit, berputar-putar, sekian kursi sekian meja, yang
menghabiskan waktu, uang, tenaga, pikiran, dan perasaan untuk bersabar, hanya
untuk mengurus kelulusan, mendaftarkan diri mendapat beasiswa, dan lain
sebagainya. Memang menjadi pertanyaan besar mengapa sampai saat ini belu ada
revolusi birokrasi. Kebijakan pemerintah untuk
mengejar ketertinggalan pendidikan secara global adalah sesuatu yang
original, namun membutuhkan sumbangan pemikiran inovatif dari brbagau pihak.
Namun, sampai saat ini, keikutsertaan para pemikir dil uar system birokrasi
dalam menentukan arah dan jalannya pendidikan baru dianggap sebagai sekedar
masukan yang belum dijamin berpengaruh. Setiap gagasan inovatif yang muncul
sering terpaksa harus berbenturan dengan kewenangan. Birokrasi sering berupaya
keras menolak upaya perubahan dengan motivasi untuk bertahan dengan
praktik-praktik sekarang. Akibatnya arah dan kebijakan pendidikan kembali
ditentukan struktur kekuasaan nyatanya amat sulit dipisahkan dengan kepentingan
BAB
IV
ANGGARAN
PENDIDIKAN: KALAU TIDAK SEDIKIT,
YA
DIKORUPSI
Pendidikan
adalah roh kehidupan seseorang, apapun itu semua ditentukan oleh sejauh mana tingkat
pendidikan seseorang. Karena berawal dari pribadi kita masing-masing kehidupan
berbangsa dan bernegara kita ditentukan oleh nasib pendidikan. Jadi, sudah
sepatutnya kita perbaiki diri kita sendiri sebelum memperbaiki tatanan
pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional yang seindah apapun, yang
sebesar apapun akan terbuang sia-sia jika dijalankan oleh pemangku kekuasaan
yang baik dan bijak. Hal ini berkaitan dengan perhatian pemerintah dalam
anggaran pendidikan, sejauh mana keseriusan dan kepekaan terhadap pendidikan di
Indonesia.
Anggaran
fungsi pendidikan nasional pada tahun 2014 menjadi Rp 371,2 triliun. Alokasi
itu naik 7,5 persen jika dibandingkan dengan anggaran pendidikan tahun 2013
sebanyak Rp345,3 triliun. Hal ini telah sesuai dengan amanat konstitusi
Undang-Undang Dasar 1945 untuk mengalokasikan 20 persen dari APBN. Setiap tahun
anggaran pendidikan di Indonesia mengalami trend kenaikan. Tetapi trend
kenaikan ini tidak disertai dengan peningkatan kualitas pendidikan. Menggutip
berita dari kompas.com (23/05/2013), Pada tahun 1997, kualitas pendidikan
Indonesia menempati peringkat ke-39 dari 49 negara yang disurvei. Adapun
tahun 2007, kualitas pendidikan Indonesia menurun menjadi peringkat ke-53 dari
55 negara yang disurvei. Padahal, anggaran pendidikan meningkat selama masa
Reformasi karena dipatok harus 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN).
Alokasi anggaran pendidikan pada tahun 2013, yang diklaim
pemerintah telah mencapai 20% dari jumlah APBN sampai saat ini belum berhasil
menyelesaikan permasalahan-permasalahan di dunia pendidikan. Sekitar 160 ribu
sekolah di nusantara tercatat tidak layak pakai, mutu dan kualitas guru yang
masih jauh di bawah standar. Mengutip dari kompas.com (23/05/2013) Pada uji
kompetensi guru yang diikuti guru bersertifikat, rata-rata nasional untuk nilai
guru hanya 43,2. Adapun nilai rata-rata nasional para guru yang belum
bersertifikat di uji kompetensi awal berkisar 42,25. Di sisi lain, kondisi
minimnya riset berkualitas yang mampu menembus di jurnal internasional setelah
15 tahun Reformasi masih menjadi persoalan. Publikasi ilmiah (1996-2009),
berdasarkan data dari Scimago Journal & Country Rank, 2011, dalam satu
tahun posisi Indonesia tidak beranjak. Pada tahun 2010, Indonesia berada di
posisi 64, dan tahun berikutnya tetap di posisi 64 dari 70 negara.
Negara-negara lain bisa maju, seperti Malaysia pada tahun 2011 di posisi 44 dan
pada tahun 2010 di posisi 48. Adapun Banglades lebih unggul dari Indonesia di
posisi 62. Thailand dan Singapura juga lebih unggul dari Indonesia. Di
kawasan ASEAN, Indonesia belum mampu menembus dominasi Singapura, Malaysia, dan
Thailand dalam berbagai penilaian mutu pendidikan. Misalnya, dalam pengukuran
kemampuan sains, matematika, dan membaca lewat Program for International
Studnt Assessment ataupun TIMS untuk siswa berusia 15 tahun, Indonesia
berada di urutan bawah.
Beberapa fakta dan data diatas membuktikan bahwa anggaran yang besar tidak
dapat menjamin perbaikan mutu pendidikan, malahan dengan semakin besarnya
anggaran, semakin menciptakan peluang korupsi di anggaran pendidikan.
Mengutip pernyataan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada okezone.com
(27/02/2013), Korupsi juga merajalela di sekolah dan perguruan tinggi. Banyak
orangtua terpaksa menyuap sekolah agar anak-anak mereka lulus tes masuk, atau
membayar fasilitas yang seharusnya disediakan oleh negara. Indonesian
Corruption Watch (ICW) mengklaim, hanya sedikit sekolah Indonesia yang bersih
dari korupsi, dengan 40 persen biaya operasional sekolah yang seharusnya
menjadi jatah mereka "disunat" sebelum sampai ke ruang kelas.
Masalah anggaran pendidikan di
Indonesia memang sangat kompeks. Di dalam sejarahnya, semenjak republic ini
dipimpin oleh presiden Soekarno kemudian beturut-turut digantikan oleh presiden
Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono, belum
pernah pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan yang memadai. Menurut saya
jangan mempermasalahkan tinggi atau rendahnya anggaran pendidikan, toh realitanya
di lapangan juga membuktikan bahwa anggaran pendidikan setiap tahunnya tidak
pernah habis, tetapi selalu tersisa mencapai ratusan juta rupiah. Kalau memang
persoalannya adalah kecilnya anggaran pendidikan, logikanya, semua dana
pendidikan yang tersedia dapat terserap. Memang anggaran yang tinggi itu
penting, tapi bukan yang terpenting, untuk memperbaiki system pendidikan
nasional. Artinya, anggaran setinggi apapun tidak menjamin akan mampu
memperbaiki system pendidikan nasional, bila para pengelola masih tetap
bermoral korup, kolusi, project oriented, dan kurang memiliki kemampuan
manajerial.
Apa yang bisa saya simpulkan dari
kebijakan politik pendidikan berkaitan denga sudut pandang anggarannya tidak
lain adalah kurangnya pemerintah dalam memberikan perhatian pada pendidikan
sebagai bentuk upaya pencerdasan, harga diri bangsa, dan penguatan karakter
bangsa yang menghormati budayanya. Banyak Negara, baik yang tak dikenal maupun
Negara tetanggaranya di Asia tenggara, sudah lama melampaui atau lebih banyak porsi
anggaran tersebut. Kita mungkin tidak punya rasa malu yang besar atas persoalan
tersebut, dan tragisnya tidk punya rasa malu bahkan hal tersebut terjadi sudah
lama. Hal tersebut dilanjutkan kembali dengan pengelolaan anggaran pendidikan
yang sudah sedikit atau paling rendah terjadinya penyunatan.
Dan Institusi /lembaga yang paling
korup nomor satu adalah Institusi pendidikan nasional baik dari Mendikbud
ataupun Kemenag. Tragisnya, hal tersebut terjadi ketika era reformasi berjalan
dan ketika angaran pendidikan nasional direalisasikan sebesar 20%. APakah hal
tersebut tidak menunjukkan paradox dari politik pendidikan nasional dari sudut
anggaran? Apalagi, nyatanya stelah terjadi desentralisasi prndidikan dan
desentralisasi kewenangan pusat dan daerah justru menjadikajn biaya pendidikan
menjadi mahal.
Pemerataan
penyaluran bantuan penyaluran anggaran selama ini dinilai tidak tepat
sasaran dikarenakan masih banyaknya sekolah yang lebih membutuhkan , namun
tidak tersentuh bantuan. Bantuan anggaran lebih berfokus kepada sekolah-sekolah
diperkotaan. Sedangkan sekolah dipelosok daerah masih bnayak yang terbengkalai.
Perlu adanya skala prioritas dari pemerintah terhadap besaran bantuan
yang diberikan setiap sekolahnya.Meminta peran aktif pemerintah setempat unuk
melaporkan keadaan sekolah baik infrastruktur maupun tenaga pengajar dengan
semaksimal mungkin sehingga, sekolah yang sudah memasuki kategori urgent
(sangat membutuhkan) bisa mendapat bantuan.
Penggunaan
anggaran yang efektif dan efisien . Anggaran pendidikan sekarang ini tidak akan
pernah terasa cukup, apabila penggunaannya tidak efektif dan efisien. Banyak
sekali kebocoran anggaran yang terjadi selama ini. Salah satu fakta di lapangan
ditemukan bahwa, banyaknya sekolah yang rusak di karenakan pembangunan sekolah
menggunakan material yang tidak standar, sehingga sangat mudah rusak. Hal
semacam ini terus berulang dan bahkan sudah menjadi budaya dikalangan pemangku
jabatan baik di pihak kementrian maupun pihak sekolah. Apabila hal ini terus
dibiarkan maka, kebutuhan anggaran akan infrastruktur tidak akan pernah
tercukupi
Penguatan
pengawasan penyaluran anggaran. Minimnya pengawasan penyaluran anggaran
pendidikan di daerah, membuat prkatek korupsi makin merajalela. Perlu adanya
tindakan pengawasan yang ketat dari pihak yang terkait. Dalam pengawasan
pengelolaan anggaran, perlu adanya lembaga yang kompeten, professional,
independen serta akuntabel dalam menjalankan pengawasan akan anggaran.
BAB V
POLITIK
PENDIDIKAN NASIONAL
MASIH MENJADI
RUANG TERPISAH
Pendidikan harus dipandang
sebagai investasi SDM handal untuk membangun masa depan bangsa dan negara. Oleh
sebab itu pendidikan tidak boleh ditunggangi kepentingan politik sesaat. Semua
elemen negara dan masyarakat harus satu hati mengupayakan sistem pendidikan
yang berkualitas. Sektor pendidikan ini juga harus didukung sector-sektor lain
seperti pembangunan sarana prasarana jalan yang baik, pelayanan kesehatan
masyarakat dan lain sebagainya.
Politik pendidikan nasional saat
ini masih menjadi ruang terpisah dan tidak berkesinambungan dengan bidang lain,
seperti budaya, ekonomi, maupun politik. Menurut saya politik pendidikan
nasional kita hanya mengfokuskan pada perbaikan internal pendidikan dengan
menaikkan anggaran pendidikan sebesar 20%. Tanpa disertai kenaikan di
sector-sektor lain. Padahal hal ini sangat berkaitan dengan
pembangunan-pembangunan lain, pendidikan juga butuh sarana prasarana yang
memadahi, jalan menuju sekolah, transportasi yang lancer dan dapat dijangkau,
ketersediaan puskesmas terdekat/layanan kesehatan anak, dan semua nya butuh
anggaran dana yang jelas dan akuntable.
Saya setuju dengan Darmangtyas bahwa kebijakan-kebijakan
pendidikan umumnya juga sangat diskriminatif, seperti perlakuan terhadap
sekolah-sekolah swasta, penerimaan siswa/mahasiswa baru yang didasarkan pada
ras dan agama serta pengamgkatan guru yang juga didasarka pada ras dan agama. Memang
tidak ada kebijakan tertulis dalam hal penerimaan siswa/mahasiswa baru di
sekolah-sekolah/perguruan tinggi lain.
Akan tetapi kalau kita telisik latar belakang ras dan agamanya, di
sekolah-sekolah/PTN negri, orang yang bukan beragama bukan islam ada dikisaran
angka 30-40% (tergantung mayoritas agama yang dianut oleh penduduk wilayah
tersebut) dan yang beretnis china tidak lebih 3%. Demikian pula rekruitmen
tenaga pengajar (dosen maupun guru) karena didasarkan pada kesamaan ras dan
agama, tidak membuka kemungkinan lain yang lebih luas
Bila
kebijakan-kebijakannya saja diskriminatif dan para pengambil kebujakannya
berpikiran sempit dan kerdil, logislah bila kemudian kita menunut pendidikan di
negeri ini mampu menghasilkan orang-orang yang tidak diskriminatif, solider,
toleran dan mampu mencintai sesama?
Melalui
apresiasi tulisan Darmaningtyas yang dikaitkan dengan kondisi politik
pendidikan kita selama ini, masih menjadi ruang terpisah dari politik kekuasaan
yang jelas-jelas memuat menuntut keadilan, kebersamaan dan kesejahteraan. Kita
sering melihat dalam sejarah politik pendidikan nasional bahwasanya focus
pendidikan nasional tidak dilakukan secara konsisten. Jika berganti menteri,
otomatis berganti kebijakan atau berganti kurikulum. Lalu, focus pemerataan
pendidikan yang ternyata tidak diimbangi dengan kerja lain, seperti peningkatan
kualitas pendidikan nasional. Atau, penignkatan kualitas tidak dibarengi dengan
pemerataan dan kemudahan akses pendidikan bagi kalangan terpinggirkan, miskin
secara social ekonomi.
BAB
VI
PEMERATAAN
PENDIDIKAN NASIONAL
BELUM
MERATA
Indonesia merupakan negara yang luas, yang terdiri dari belasan ribu pulau dan kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Kita
patut bersyukur, karena banyaknya hal positif yang kita dapatkan dari luasnya
Indonesia. Banyaknya jumlah masyarakat di Indonesia dapat membantu dalam hal
pengembangan Indonesia menjadi negara maju. Sumber daya manusia yang
berkualitas diperlukan untuk tujuan ini. Namun untuk menjadi sumber daya yang
berkualitas tentu saja diperlukan pendidikan yang baik. Salah satu yang menjadi
penghalang yaitu pelayanan pendidikan yang kurang merata. Kesulitan untuk menjangkau
daerah terpencil di Indonesia membuat anak-anak penerus bangsa tidak dapat
menikmati pendidikan yang berkualitas.
Saya setuju dengan perkataan
muhammad rifai dalam bukunya bahwa “ kita masih belum bisa memberantas buta
huruf hingga 100% ”. Karena pendidikan masih menjadi barang langka bagi
sebagian penduduk Indonesia, di pelosok-pelosok masih banyak anak-anak negeri
ini yang belum mendapatkan pendidikan secara layak. Mereka masih harus berjuang
keras untuk bisa mengenyam bangku sekolah. Bahkan, beberapa harus
mempertaruhkan nyawanya. Semua mereka lakukan demi mengejar cita-cita,
sekalipun mereka hanya bersekolah di sebuah tempat yang sesungguhnya tak pantas
di sebut sekolah. Inilah potret buram pendidikan Indonesia.
Anak-anak di pelosok
hanyalah satu dari banyak contoh untuk ketidakmerataan pendidikan di Indonesia.
Ini bisa menjadi alasan mengapa daerah-daerah pelosok tidak dapat menunjukkan
eksistensinya. Mereka masih hidup dalam keterpurukan. Padahal sesungguhnya
daerah-daerah tersebut menyimpan potensi yang luar biasa. Hanya saja,
masyarakat di sana belum mampu untuk mengembangkannya. Salah satu pemicunya
adalah minimnya pengetahuan yang dimiliki masyarakat akan potensi daerah
mereka. Masyarakat di pelosok masih sangat awam untuk mengeksplor kekayaan
wilayahnya. Sehingga kondisi tersebut membuka peluang bagi banyak pihak untuk
meraup keuntungan. Mereka memanfaatkan dalih pengembangan potensi daerah untuk
memperkaya diri. Sementara itu, masyarakat hanya bisa menjadi penonton karena
pengetahuan mereka tidak cukup untuk mencegahnya. Akhirnya ketidakmerataan
pendidikanlah yang harus bertanggung jawab.
Masyarakat di pelosok perlu
pendidikan yang setara. Mereka harus mampu melindungi kekayaan daerah dari
penjarahan oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Pendidikan akan mencetak
genarasi yang mampu melawan musuh dengan cara yang lebih elegan.
Intelektualitas adalah sebuah barang mahal yang tak mudah untuk ditaklukkan.
Hal ini menjadi tugas tidak
hanya bagi pemerintah tetapi juga masyarakat untuk melancarkan arus pendidikan
di daerah terpencil. Masyarakat di daerah terpencil membutuhkan sebuah tempat
penuh ilmu yang dinamakan sekolah. Untuk itu, perlu diadakan program pemerataan
pendidikan di daerah terpencil, terluar dan tertinggal.
Persoalan kurangnya pemerataan pendidikan bukan hanya skala
nasional, melainkan juga daerah terjadi hal serupa. Tujuan politik pendidikan
nasional yang paling pokok dari dulu hingga sekarang adalah persoalan
pemerataan pendidikan nasional, yang bisa diartikan bahwasanya semua rakyat
Indonesia bisa mengakses pendidikan tidak terhalangi oleh factor, baik
latarbelakangnya, etnisnya, agamanya, sukunya, bahasanya, maupun ekonominya.
Persoalan tersebut sampai sekarang belum busa dikatakan sebagai bentuk program
yang berhasil.
BAB VII
KUALITAS/MUTU PENDIDIKAN
BELUM BISA DIBANGGAKAN
Saya setuju
dengan pernyataan dari muhammad rifai dalam bukunya bahwa “ kualitas pendidikan
nasional kita kurang”. Seperti yang kita lihat
sekarang keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme
yang memadai untuk menjalankan tugasnya. Terbukti dari kualitas guru, sarana
belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang
yang menjadi guru karena tidak diterima dijurusan lain atau kekurangan dana.
Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru.
Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam
mengenai pelajaran yang mereka ajarkan.
Belum lagi kesejahteraan guru merupakan aspek penting yang harus diperhatikan oleh
pemerintah dalam menunjang terciptanya kinerja yang semakin membaik di kalangan
pendidik. Namun kenyataannya masalah kesejahteraan guru belum
mendapatkan perhatian besar dari pemerintah. Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya
kualitas pendidikan Indonesia. Guru sebagai tenaga kependidikan juga
memiliki peran yang sentral dalam penyelenggaraan suatu sistem pendidikan. Walaupun
guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan
tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai
cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas
pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang
rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
Sementara
itu, dalam forum kompasania disebutkan ada tujuh persoalan yang menyebabkan
kualitas pendidikan Indonesia masih rendah, yaitu sebagai berikut :
1.
Pembelajaran yang terpaku pada buku paket(kurikulum buku paket)
2.
Model pembelajaran ceramah
3.
Kurangnya daya dukung sarana prasarana dari regulator
4.
Peraturan yang membelegu
5.
Guru tidak mengajari keterampilan bertanya, murid tidak berani bertanya
6.
Guru tidak berani mengajukan pertanyaan terbuka
7.
Siswa menyontek guru pun juga
Data
di atas kiranya relevan dan sesuai dengan realita pendidikan kita saat ini
walaupun zaman sudah berganti menuju reformasi. Nyatanya, mentalitas para
pemangku dan pelaksana kebijakan belum
bisa membawa suasana pendidikan yang berkeadaban, produktif dan
berkarakter.
Ada
beberapa elemen dasar bagaimana kita meningkatkan mutu pendidika di Indonesia
1.
Insan pendidikan patut mendapatkan penghargaan, oleh karena itu
berikanlah penghargaan
2.
Menngkatkan profesionalisme guru dan pendidik
3.
Sebisa mungkin kurangi dan berantas korupsi
4.
Berikan sarana prasarana yang layak
Dan
beberapa solusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional, pertama
menerapkan system praktik dalam skala besar-bisa jadi 20% teori dan materi di
kelas, sedangkan 80% dipraktikkan.
Kedua,
mendukung sekolah alternative sebagai bentuk lain upaya pencerdasan anak
bangsa. Sekolah alternative lebih mengarahkan peserta didik pada pengembangan
bakat, minat, da keterampilan. Ketiga, mendukung pemerintah dalam pengembangan program
double degree untuk jenjang pendidikan sarjana, magister dan doctoral.
Apa
yang bisa kita simpulkan mengenai politik pendidikan nasional, khususunya
berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan nasional, yang bisa dibanggakan
prestasiny, yang bisa berkiprah di dunia internasional, ternyata prestasi kita
masih bersifat personal. Ini tidak lain karena kita menerapkan kebijakan
kualitas pendidikan dilakukan secara parsial, sepenggal-penggal dan tidak mampu
disinergikan dengan proses pemerataan pendidikan nasional.
BAB VIII
PARADOKS KEBIJAKAN KURIKULUM NASIONAL
Perkembangan pendidikan di Indonesia tidak luput dari
adanya sistem kurikulum yang dibentuk pemerintah Indonesia.kurikulum kerap
berubah setiap ada pergantian Menteri Pendidikan, sehingga mutu pendidikan
Indonesia hingga kini belum memenuhi standar mutu yang jelas dan mantap. Dalam
perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah
mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994,
2004, dan 2006.Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya
perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat
berbangsa dan bernegara.Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan
perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang
terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan
yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari
tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya.
Saya setuju dengan pendapat Beny Susetyo dalam
buku nya Muhammad Rifai bahwa “Kurikulum harus bersifat fleksibel dan elastis
sehingga terbuka kesempatan untuk memberikan bahan pelajaran yang penting bagi peserta didik”.
Karena Dalam pengajaran suatu mata pelajaran hendaknya disesuaikan dengan
kekhasan konsep/pokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa, sehingga
diharapkan akan terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada
pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan keterampilan menyelesaikan soal
dan pemecahan masalah. Dan dalam
pelaksanaan kegiatan, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang
melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial.
Dalam mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada
jawaban konvergen, divergen (terbuka, dimungkinkan lebih dari satu jawaban) dan
penyelidikan.
Kurikulum merupakan alat yang sangat
penting bagi keberhasilan suatu pendidikan. Tanpakurikulum yang sesuai dan
tepat akan sulit untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikanyang diinginkan.
Dalam sejarah pendidikan di Indonesia sudah beberapa kali
diadakan perubahan dan perbaikan kurikulum yang tujuannya sudah tentu
untuk menyesuaikannyadengan perkembangan dan kemajuan zaman, guna mencapai
hasil yang maksimal.
Perubahan kurikulum
didasari pada kesadaran bahwa perkembangan dan perubahan yangterjadi dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia tidak
terlepasdari pengaruh perubahan global, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta senidan budaya. Perubahan secara terus menerus ini menuntut
perlunya perbaikan sistem pendidikan nasional, termasuk penyempurnaan
kurikulum untuk mewujudkan masyarakatyang mampu bersaing dan menyesuaikan diri
dengan perubahan.
Perubahan kurikulum
yang terjadi di Indonesia dewasa ini salah satu diantaranya adalah karena ilmu
pengetahuan itu sendiri selalu dinamis. Selain itu, perubahan tersebut
jugadinilainya dipengaruhi oleh kebutuhan manusia yang selalu berubah juga
pengaruh dari luar,dimana secara menyeluruh kurikulum itu tidak berdiri
sendiri, tetapi dipengaruhi oleh prubahan iklim ekonomi, politik, dan
kebudayaan. Sehingga dengan adanya perubahankurikulum itu, pada gilirannya
berdampak pada kemajuan bangsa dan negara. Kurikulum pendidikan harus
berubah tapi diiringi juga dengan perubahan dari seluruh
masyarakat pendidikan di Ind onesia yang harus mengikuti perubahan
tersebut, karena kurikulum itu bersifat dinamis bukan stasis, kalau
kurikulum bersifat statis maka itulah yang merupakan kurikulum yang tidak baik.
Menurut Winarko
surakhmad, ada empat persoalan dan factor yang memengaruhi keberadaan kurikulum
menjadi persoalan bagi pendidikan nasional kita, yaitu sebagai berikut :
v Faktor yang bersumber
Dario birokrasi, terutama adanya harapan
dan perlakuan yang berlebihan dikalangan birokrat mengenai peran kurikulum
v Faktor yang bersumber dari
penyusun kurikulum, terutama karena lemahnya filosofis dan psikologis dalam
penjabaran program kurikulum
v Faktor yang bersumber dari
pelaksana kurikulum, terutama karena tingkat kompetensi dan profesionalisme
yang kurang mendukung dikalangan guru
v Faktor yang bersumber dari
ekosistem pendidikan.
BAB IX
PARADOKS KEBIJAKAN UN
Memang, tujuan
dari diselenggarakannyaUAN stersebut sangat mulia, yaitu untuk mencari
sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas. Apalagi, dalam arus globalisasi dan
pasar bebas, mencari kualitas pendidikan yang handal dan unggul bisa dikatakan
sangat mendesak, mengingat tantangan-tantangan yang akan kita hadapi nantinya tidak
saja usaha membangun sebuah “generasi emas” pendidikan, ia juga melibatkan
unsur-unsur tersebut untuk mengantisipasi membludaknya persaingan ketat di era
informasi sekarang ini.
Saya setuju dengan pendapat Muhammad Rifai bahwa “ Cita-cita besar
membangun bangsa Indonesia kandas disebabkan sistem UN yang tidak memihak”.
Bagaimana tidak, UAN yang sedianya akan diselenggarakan pemerintah nantinya,
dianggap oleh banyak kalangan sebagai bentuk nyata dari praktek yang hanya
menguntungkan minoritas orang kaya dan mengorbankan mayoritas orang miskin yang
jelas-jelas sangat membutuhkan pendidikan untuk meningkatkan derajat atau taraf
kehidupannya.
Betapa tidak, proyek UAN yang berdalih untuk meningkatkan mutu
pendidikan harus terjebak pada batu karang fakta bahwa anggaran UAN sekitar Rp.
250 miliar tersebut hanya akan menghancurkan generasi muda pendidikan hanya
karena standarisasi yang kebablasan untuk “ukuran intelektualitas” masyarakat
Indonesia secara umum.Sebab, dapat diduga sebagian dari mereka yang akan gagal
nantinya kemungkinan besar dari masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah.
Bahwa tentunya asumsi tidak hadir dengan sendirinya, tetapi kenyataan
membuktikan bahwa sekolah-sekolah favorit (unggulan) yang secara pasti lebih
mahal dan ditunjang dengan fasilitas serba “wah” dan juga pengajar berkelasdan berkualitas
menjadi sangat memungkinkan untuk mecapai nialai yang melampui standar yang
ditetapkan.
Tetapi bagaimana dengan keadaan siswa yang “pas-pasan”, yang hanya
mampu membayar sekolah kelas dua atau kelas tiga dan seterusnya, dan dengan
fasilitas sekolah maupun pengajar “ala kadarnya”? Padahal mayoritas pendidikan
(sekolah) kita masih berada di bawah standard dan di huni oleh siswa-siswa yang
miskin secara financial. Logika ini berarti bahwa orang tua atau wali murid
tidak mempunyai pilihan lain kecuali memasukkan anak-anak mereka di sekolah
yang tidak diunggulkan. Di beberapa tempat diprediksi akan mengalami
ketidaklulusan cukup besar tahun ini, mencapai 40 persen. Jika kita harus
berkaca pada dugaan ini, tentu saja, kesenjangan pendidikan antara si kaya dan
si miskin memang sangat sulit untuk dielakkan. Pemerataan mutu pendidikan yang
diinginkan dengan standar UAN yang baru ini justru menghasilkan kuota
kesenjangan yang semakin besar dan tidak bisa dihindari. Sebab, hampir
mustahil, sekolah dengan fasilitas dan pengajar “seadanya” mampu mengangkat
kualitas peserta didik untuk menyamai kualitas siswa yang notabene berada di
lingkungan sekolah unggulan.
pendidikan yang seharusnya mencerdaskan malah berbalik menjadi “menindas”. Artinya, kriteria 5,00 menjadi sangat paradoks menilik kondisi pendidikan kita selama ini. UAN yang pada dasarnya bertujuan untuk mencetak SDM berkualitas, alih-alih, ia malah menderitakan dan memojokkan sebagian besar siswa untuk berprestasi.Penjelasan di atas berarti, oleh karena hanya “kecongkakan” pihak pemerintah yang ingin mengangkat Indonesia “setinggi langit” di mata publik internasional, sementara itu, pemerintah sendiri tidak berusaha melihat secara mendalam dan bijak terhadap persoalan krusial pendidikan kita yang masih dalam taraf “belajar’.
pendidikan yang seharusnya mencerdaskan malah berbalik menjadi “menindas”. Artinya, kriteria 5,00 menjadi sangat paradoks menilik kondisi pendidikan kita selama ini. UAN yang pada dasarnya bertujuan untuk mencetak SDM berkualitas, alih-alih, ia malah menderitakan dan memojokkan sebagian besar siswa untuk berprestasi.Penjelasan di atas berarti, oleh karena hanya “kecongkakan” pihak pemerintah yang ingin mengangkat Indonesia “setinggi langit” di mata publik internasional, sementara itu, pemerintah sendiri tidak berusaha melihat secara mendalam dan bijak terhadap persoalan krusial pendidikan kita yang masih dalam taraf “belajar’.
Sistem
pendidikan Indonesia ternyata masih mengunggulkan keceerdasan intelektual.
Tidak ada sedikitpun tempat untuk kecerdasan-kecerdasan lain untuk menjadi
penentu kelulusan seseorang. Karena itu tidak aneh jika sekarang banyak peserta
didik yang mengalami depresi berat. Hal
ini disebabkan mereka dianggap bodoh, dan tidak mampu lagi melanjutkan sekolah
ke jenjang berikutnya.
Ada
beberapa hal yang bisa disimpulkan dari kebijakan politik UN. Pertama,
pemerintah memberlakukan kebijakan tersebut dengan menciptakan situasi yamg
menekan, peserta didik terbebani, begitu pula orangtua didik. Kemudian pola
sentralistik dari kebijakan UN tersebut dalam menentukan kecerdasan dan
kelulusan sebenarnya tidak sesuai idealitasdemokratisasi pendidikan dan
desentralisasi pendidikan.
BAB X
PARADOKS KEBIJAKAN
DESENTRALISASI PENDIDIKAN
Desentralisasi
pendidikan merupakan salah satu model pengelolaan pendidikan yang menjadikan
sekolah sebagai proses pengambilan keputusan dan merupakan salah satu upaya
untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta sumber daya manusia termasuk
profesionalitas guru yang belakangan ini dirisaukan oleh berbagai pihak baik
secara regional maupun secara internasional.
Kelahiran desentralisasi pendidikan tidak terlepaskan dari kemunculan
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Desentralisasi lahir dari
semangat kemandirian daerah agar terjadi peningkatan, perluasan, pemerataan dan
kesempatan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan murah dan berkualitas. Ada
harapan, desentralisasi mampu membuat partisipasi masyarakat dan mewujudkan
fungsi manajemen pendidikan kelembagaan.
Problema pendidikan harus menjadi
perhatian kita bersama sebab pendidikan merupakan suatu kebutuhan demi
berlangsungnya proses pengembangan sumber daya manusia Indonesia kini dan akan
datang. Namun melihat dinamika pendidikan di daerah baik di tingkat provinsi
maupun kabupaten masih jauh dari harapan. Tentunya hal ini menjadi satu
pertanyaan dan harus dicari cara penyelesaiannya Sejak lahirnya otonomi daerah
( Otda ) UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah penghapusan
system sentralisasi pusat yang selama ini menajdi pokok masalah dalam dinamika
pembangunan daerah, tujuan diberlakukannya aturan ini adalah pemerintah pusat
memberikan kebebasan dan kewenangan keapda pemerintah daerah untuk menjalankan
roda pemerintahan di daerah dalam arti sempit adalah memandirikan
daerah.Istilah desentralisasi (pelimpahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah)
merupakan satu terobosan dalam peroses pembangunan di daerah.
Namun bila dikaji kembali sudahkah penerapan otonomi
daerah menjawab harapan masyarakat akan kemajuan dan kesejahteraan.Secara
khusus bagaimana keberadaan otonomi daerah akan kemajuan pendidikan di daerah.
Pemerintah pusat telah memberikan ruang kepada pemerintah daerah akan
pendidikan didaerah yaitu dengan menerapkan desentralisasi pendidikan.
Desentralisasi pendidikan merupakan salah satu model pengelolaan pendidikan
yang menjadikan sekolah sebagai proses pengambilan keputusan dan merupakan
salah satu upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta sumber daya
manusia termasuk profesionalitas guru yang belakangan ini dirisaukan oleh
berbagai pihak baik secara regional maupun secara internasional.
Saya setuju dengan pernyataan
M.Sirozi dalam bukunya Muhammad Rifai bahwa “Otonomi daerah membuka peluang
bagi pemerintah dan masyarakat untuk mengoptimalisasikan peran institusi
pendidikan dalam menunjang pembangunan daerah”. Karena
otonomi daerah memberi ruang bagi pemerintah daerah dan masyarakat untuk
menentukan jalannya pembangunan daerahtermasuk dibidang pendidikan terutama era
demokratisasi pendidikan yaitu diberikannya otoritas pemerintah dan masyarakat
di daerah dalam mengembangkan pendidikan dengan ketentuan bahwa pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatifmenjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai
kultural, dankemajemukan bangsa. Artinya: pendidikan diselenggarakan dengan keterlibatan
masyarakat dan otoritas pengelola serta institusi-institusi pendukungnya.
Bersamaan dengan itu pula masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi pendidikan, sesuai amanat pasal 4 ayat 1
dan 9 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Demokratisasi dan desentralisasi pendidikan itu memberi tanggung jawab
pemerintah daerah dalam dua hal: pertama, desentralisasi kewenangan di sektor
pendidikanyang berorientasi kepada kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya
dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kedua, desentralisasi pendidikan
dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah.
Dinamika format kebangsaan sejak merdeka hingga zaman reformasi ini memang
memberi nuangsa dan warna terhadap pendidikan, simak saja terjadinya berbagai
perubahan kurikulum dan kebijakan pendidikan yang pernah dan telah terjadi di
negara tercinta ini, bahkan ada kesan ganti menteri ganti kurikulum (Kurikulum
berbasis Kompetensi, KTSP dan UN) yang masih menjadi polemik diantara pakar
pendidikan saat ini belum terlihat ujungnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar