MAKALAH
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI DAN HADHANAH
Disusun
guna memenuhi tugas :
Mata
kuliah: Fiqih 2
Dosen Pengampu: H. Ubaidillah M.S.I
Disusun
oleh:
Nur Fatma
Moh. Aban Falahi
Kelas:
T3A
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM KI AGENG PEKALONGAN
(STAIKAP)
2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami bisa
menyelesaikan Makalah ini. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada nabi Muhammad Saw
Makalah ini berisikan tentang Hak dan Kewajiban Suami Istri dan Hadhanah. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi dan menambah wawasan kepada kita semua
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Pekalongan, April 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN
A.
Latar belakang masalah.............................................................................. 1
B.
Rumusan masalah...................................................................................... 1
C.
Tujuan penulisan makalah.......................................................................... 1
D.
Sistematika penulisan makalah.................................................................. 2
BAB II : PEMBAHASAN
A.
Pengertian hak dan kewajiban............................................................... 3
B.
Hak
dan Kewajiban Suami terhadap terhadap Istri dan Sebaliknya
........................................................................................................ ....... 4
C. Pengertian, Dasar Hukum dan yang Berhak
Melakukan Hadhanah
........................................................................................................ ....... 8
D. Syarat-syarat, Masa dan Upah Hadhanah …..…………………..
11
BAB III : PENUTUP
Simpulan....................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perlu
diketahui bahwa kehidupan rumah tangga tidak lepas dari permasalahan, baik
masalah yang sepele hingga masalah yang membutuhkan kedewasaan berpikir agar
terhindar dari pertengkaran yang berkepanjangan. Sehingga hal ini membutuhkan saling memahami
antar suami istri, perlu mengetahui hak dan kewajiban suami terhadap isteri
atau hak dan kewajiban isteri terhadap suami.
Dewasa
ini banyak kasus perceraian yang terjadi di kalangan masyarakat, apapun
alasannya mengapa kalangan masyarakat sering terjadi kasus perceraian, mungjin mereka belum banyak memahami hak dan kewajiban
suami terhadap istri atau sebaliknya. Maka dipandang perlu untuk kita mengkaji
dan membahas hal tersebut secara mendalam.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah makalah ini adalah sebagai
berikut :
1.
Apa pengertian hak dan kewajiban suami istri?
2.
Bagaimana hak dan kewajiban suami terhadap istri dan
sebaliknya?
3.
Apa pengertian, dasar hukum dan yang berhak hadlanah?
4.
Apa syarat-syarat, Masa dan
Upah Hadhanah ?
C.
Tujuan penulisan makalah
Tujuan kami menulis makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah manajemen
mutu pendidikan, selain itu juga untuk menambah pengetahuan dan wawasan kita semua tentang
hak dan kewajiban suami terhadap istri atau sebaliknya
dan pengertian hadlanah serta hukumnya.
D. Sistematika Penulisan Makalah
Makalah ini disusun dalam tiga bagian. Adapun sistematika penulisan makalah
ini adalah sebagai berikut :
Bab I, bagian pendahuluan yang terdiri dari
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan makalah dan
sistematika penulisan makalah.
Bab II, bagian pembahasan yang membahas tentang
hak dan kewajiban suami
terhadap istri dan sebaliknya, serta
Bab III, bagian penutup, kesimpulan, daftar
pustaka
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hak dan Kewajiban
Hak adalah kekuasaan
seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan Kewajiban adalah sesuatu
yang harus dikerjakan. Membicarakan kewajiban dan hak
suami istri, terlebih dahulu kita membicarakan apa yang dimaksud dengan kewajiaban dan
apa yang dimaksud dengan hak. Adalah Drs. H. Sidi Nazar Bakry dalam buku karangannya yaitu Kunci Keutuhan Rumah Tangga
Yang Sakinah mendefinisikan kewajiban dengan sesuatu yang harus dipenuhi dan
dilaksanakan dengan baik. Sedangkan hak adalah sesuatu
yang harus diterima.
Lantas, pada
pengertian diatas jelas membutuhkan subyek dan obyeknya. Maka disandingkan dengan kata kewajiban dan hak tersebut,dengan kata suami
dan istri, memperjelas bahwa kewajiban suami adalah sesuatu yang harus suami
laksanakan dan penuhi untuk istrinya. Sedangkan
kewajiban istri adalah sesuatu yang harus istri laksanan dan lakukan untuk
suaminya. Begitu juga dengan pengertian hak suami adalah,sesuatu yang harus diterima
suami dari isterinya. Sedangkan hak isteri adalah
sesuatu yang harus diterima isteri dari suaminya. Dengan
demikian kewajiban yang dilakukan oleh suami merupakan upaya untuk memenuhi hak
isteri. Demikian juga kewajiban yang
dilakukan istri merupakan upaya untuk memenuhi hak suami, sebagaiman yang Rosulullah SAW jelasakan :
اﻻ إن ﻟﮝﻢ ﻋﻠﻰ ﻧﺴﺎﺋﮝﻢ ﺣﻗﺎ
ﻮﻟﻨﺴﺎﺋﮝﻢﻋﻠﻴﮑﻢ ﺣﻗﺎ
: ‘’ Ketahuilah
sesungguhnya kalian mempunyai hak yang harus (wajib) ditunaikan oleh istri
kalian,dan kalian pun memiliki hak yang harus (wajib) kalian tunaikan". (Hasan: Shahih ibnu Majah
no.1501.Tirmidzi II:315 no:1173 dan ibnu Majah I:594 no:1851).[1]
B. Hak
dan Kewajiban Suami terhadap terhadap Istri dan Sebaliknya
1. Hak dan kewajiban Istri
Hak hak istri yang menjadi kewajiban suami dapat
dibagi dua : hak-hak kebendaan, yaitu mahar (mas kawin) dan nafkah, hak hak
bukan kebendaan, misalnya berbuat adil diantara para istri (dalam perkawinan
poligami), tidak berbuat yang merugikan istri dan sebagainya.
a. Hak-Hak Kebendaan
Ø Mahar (Mas Kawin)
Q.S an-Nisa’: 24 memerintahkan, “Dan berikanlah mas
kawin kepada permpuan-perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian wajib.
Apabila mereka dengan senang hati memberikan mas kawin itu kepadamu, ambillah
dia sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.”
Dari ayat Al-Quran tersebut dapat diperoleh suatu
pengertian bahwa mas kawin itu adalah harta pemberian wajib dari suami kepada
istri, dan merupakan hak penuh bagi istri yang tidak boleh diganggu oleh suami,
suami hanya dibenarkan ikut makan mas kawin apabila telah diberikan oleh istri
dengan suka rela.
Ø Nafkah
Yang dimaksud dengan nafkah adalah adalah mencukupkan
segala keperluan istri, meliputi makanan, pakaian tempat tinggal, pembantu
rumah tangga, dan pengobatan, meskipun istri tergolong kaya.
Q.S Al-Baqarah : 233 mengajarkan, “Dan ayah
berkewajiban mencukupkan kebutuhan makanan dan pakaian untuk para ibu dan anak-anak
dengan syarat yang ma’ruf.”
Ayat berikunya (Ath-Thalaq: 7) memerintahkan, “Orang
yang mampu hendaklah memberi nafkah menurut kemampuanya, dan orang kurang
mampupun supaya memberi nafkah dari pemberian Allah kepadanya, Allah tidak akan
membebani kewajiban kepada seseorang melebihi pemberian Allah kepadanya…”
Hadist riwayat Mustli, menyebutkan isi khotbah Nabi
dalam haji wada’, antara lain sebagai berikut, “…takutlah kepada Allah dalam
menunaikan kewajiban terhadap istri-istri, kamu telah memperistri mereka atas
nama Allah, adalah hak kamu bahwa istri-istri itu tidak menerima tamu orang
yang tidak kau senangi, kalau mereka melakukanya, boleh kamu beri pelajaran
denan pukulan pukulan kecil yang tidak melukai, kamu berkewajiban mencukupkan
kebutuhan istri mengenai makanan dan pakaian dengan makruf.”
b. Hak-Hak Bukan Kebendaan
Hak-hak bukan kebendaan yang wajib ditunaikan suami
terhadap istrinya, disimpulkan dalam perintah QS an-Nisaa : 19 agar para suami
menggauli istri-istrinya dengan makruf dan bersabar terhadap hal-hal yang tidak
disenangi, yang terdapat pada istri. Menggauli istri dengan makruf dapat
mencakup :
Ø Sikap menghargai, menghormat, dan perlakuan-perlakua n
yang baik, serta meningkatkan taraf hidupnya dalam bidang-bidang agama, akhlak,
dan ilmu pengetahuan yang diperlukan.
Ø Melindungi dan menjaga nama baik istri.
Ø Memenuhi kebutuhan kodrat (hajat) biologis istri
Zaman Nur,
mejelaskan hak istri yang bukan kebendaan antara lain:
v
Bergaul
dengan perlakuan yang baik.Kewajiban suami kepada istrinya supaya menghormati
istri tersebut, bergaul kepadanya denan cara yang baik, memperlakukanya dengan
cara yang wajar, mendahulukan kepentingannya dalam hal sesuatu yang perlu
didahulukan, bersikap lemah lembut dan enahan diri dari al-hal yang tidak
menyenangkan hati istri.
v
Menjaga
istri dengan baik. Suami berkewajiban menjaga istriya, memelihara istri dan segala
sesuatu yang menodai kehormatanya, menjaga harga dirinya, mejunjung tinggi
kehormatan dan kemulianya, sehingga citranya menjadi baik
v
Suami
mendatangi istrinya suami wajib memberikan nafkah batin kepada istrinya
sekurang-kurangnya satu kali sebulan jika ialah mampu. Imam Syafi’i berpendapat memberikan nafkah bathin itu tidak wajib karena memberikan
nafkah batin itu adalah hak suami bukan merupakan kewajibanya, jadi terserah
kepada suami itu sendiri apakah ialah mau atau tidak menggunakan haknya.Imam
Ahmad menetapkan bahwa suami wajib memberi nafkah bathin kepada istrinya empat
bulan sekali. Kalau suami meninggalkan istrinya batas waktunya paling lama 6
bulan.
2. Hak dan Kewajiban Suami
Hak-hak suami yang wajib dipenuhi istri hanya
merupakan hak-hak bukan kebendaan sebab menurut hukum Islam istri tidak
dibebani kewajiban kebendaan yang diperlukan untuk mencukupkan kebutuhan
keluarga. Bahkan, lebih diutamakan istri tidak usah ikut bekerja mencari nafkah
jika suami memang mampu memenuhi kewajiban nafkah keluarga dengan baik.
Hak-hak suami dapat disebutkan pada pokoknya ialah hak
ditaati mengenai hal-hal yang menyangkut hidup perkawinan dan hak memberi
pelajaran kepada istri dengan cara yang baik dan layak dengan kedkan suami
istri.
a. Hak Ditaati
QS an-Nisaa’: 34 mengajarkan bahwa kaum laki-laki
(suami) berkewajiban memimpin kaum perempuan (istri) karena laki-laki mempunyai
kelebihan ataskaum perempuan(dari segi kodrat kejadianya), dan adanya kewajiban
laki-laki meberi nafkah untuk keperluan keluarganya. Istri-istri yang saleh
adalah yang patuh kepada Allah dan jepada suami-suami mereka serta memelihara
harta benda dan hak-hak suami, meskipun suami-suami mereka dalm keadaan tidak
hadir, sebagai hasil pemeliharaan Allah serta taufik-Nya kepada istri-istri
itu.
1)
Istri supaya
bertempat tinggal bersama suami yang telah disediakan
Istri berkewajiban memenuhi hak suami bertempat tingal
di rumah yng telah disediakan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a)
Suami telah
memenuhi kewajiban membayar mahar untuk istri
b)
Rumah yang
disediakan pantas menjadi tempat tinggal istri serta dilengkapi dengan perabot
dan alat yang diperlukan untuk hidup berumah tangga secara wajar, sederhana,
tidak melebihi kekuatan suami.
c)
Rumah yang
disediakan cukup menjamin keamanan jiwa dan harta bendanya, tidak terlalu jauh
dengan tetangga dan penjaga-penjaga keamanan.
d)
Suami dapat
menjamin keselamatan istri ditempat yang disedikan.
2)
Taat kepada
perintah-perintah suami, kecuali apabila melanggar larangan Allah.
Istri wajib memenuhi hak suami, taat kepada
perintah-perintahnya apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a)
Perintah
yang dikeluarkan suami termasuk hal-hal yang ada hubunganya dengan kehidupan
rumah tangga. Dengan demikian, apabia misalnya suami memerintahkan istri untuk
membelanjakan harta milik pribadinya suami keinginan suami, istri tidak wajib
tat sebab pembelanjan harta milik pribadi istri sepenuhnya menjadi hak istri
yang tidak dapat sicampuri oleh suami.
b)
Perintah
yang harus sejalan dengan ketentuan syariah. Apabila suami memerintahkan istri
untuk mejalankan hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan syariah, perintah
itu tidak boleh ditaati. Hadist Nabi riwayat Bukhari, Muslom, Abu, Dawud, dan
Nasai dari Ali mengajarkan, “Tidak dibolehkan taat kepada seorangpun dalm
bermaksiat kepada Allah, taat hanyalah pada hal-hal yang Makruf.”
c)
Suami
memenuhi kewajiban-kewajibannya yang menjadi hak istri, baik yang bersifat
kebendaan maupun yang bersifat bukan kebendaan.
3)
Berdiam
dirumah, tidak keluar kecuali dengan izin suami
Istri wajib berdiam dirumah dan tidak keluar kecuali
dengan izin suami apbila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a)
Suami telah
memenuhi kewajiban membayar mahar untuk istri.
b)
Larangan
keluar rumah tidak memutuskan hubungan keluarga. Dengan demikian, apabila suami
melrang istri menjenguk kelurga-keluarganya, istri tidak wajib tat. Ia boleh
keluar untuk berkunjung, tetapi tidak boleh bermalam tanpa izin suami.
4)
Tidak
menerima masuknya seseorang tanpa izin suami
Hak suami agar tidak menerima masuknya seseorang tanpa
izinnya, dimaksudkan agar ketentraman hidup rumah tangga tetap terjaga.
Ketentuan tersebut berlaku apabila orang yang datang adalah mahramnya,
dibenarkan menerima kehadiran mereka tanpa izin suami.
b. Hak Memberi
Pelajaran
Bagian kedua dari Ayat 34 QS An-Nisa mengajarkan,
apabila terjadi kekhawatiran suami bahwa istrinya bersikap membangkang
(nusyus), hendaklah diberi nasehat secara baik-baik. Apabila dengan nasehat,
pihak istri belum juga mau taat, hendaklah suami berpisah tidur sama istri.
Apabila masih belum juga mau taat, suami dibenarkan memberi pelajaran dengan
jalan memukul (yang tidak melukai dan tidak pada bagian muka).[2]
C. Pengertian,
Dasar Hukum dan yang Berhak Melakukan Hadhanah
a. Pengertian
Hadhanah
Kata hadhanah
adalah bentuk mashdar dari kata hadhnu ash-shabiy, atau mengasuh atau
memelihara anak. Mengasuh (hadhn) dalam pengertian ini tidak dimaksudkan
dengan menggendongnya dibagian samping dan dada atau lengan.
Secara
terminologis, hadhanah adalah menjaga anak yang belum bisa mengatur dan
merawat dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga dirinya dari hal-hal yang
dapat membahayakan dirinya. Hukum hadhanah inihanya dilaksanakan ketika
pasangan suami istri bercerai dan memiliki anak yang belum cukup umur untuk
berpisah dari ibunya. Hal ini diseabkan karena sianak masih perlu penjagaan,
pengasuhan, pendidikan, perawatan dan melakukan berbagai hal demi
kemaslahatannya. Inilah yang dimaksu dengan perwalian (wilayah).[3]
b.
Dasar Hukum Hadhanah
Para ulama
menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya adalah wajib, sebagaimana wajib
memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya
mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak dan istri dalam firman Allah
pada surat Al-Baqarah ayat 233:
وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعزوف
”adalah
kewajiban ayah untuk memberi nafkah dan pakaian untuk mereka (anak dan
istrinya).” (QS. Al-Baqarah: 233)
Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukanlah
hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja,
namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian.
Apabila bercerai dua suami istri, maka hak memelihara
anak dipegang ibu, sehingga anak tersebut sampai umur tujuh tahun. Sesudah itu
ditakhyirkan (disuruh pilih kepada sang anak: siapa ia suka buat
pemeliharaannya), lalu diserahka kepada siapa yang dipilih si anak itu.[4]
c. Yang
Berhak Melakukan Hadhanah
Ø Kalangan Madzhab Hanafi berpendapat
bahwa orang yang palin berhak mengasuh anak adalah:
1) Ibu kandungnya sendiri
2) Nenek dari pihak ibu
3) Nenek dari pihak ayah
4) Saudara perempuan (kakak perempuan)
5) Bibi dari pihak ibu
6) Anak perempuan saudara perempuan
7) Anak perempuan saudara laki-laki
8) bibi dari pihak ayah
Ø Kalangan Madzhab Maliki berpendapat
bahwa urutan hak anak asuh dimulai dari:
1) Ibu kandung
2) Nenek dari
pihak ibu
3) Bibi dari pihak ibu
4) Nenek dari pihak ayah
5) Saudara perempuan
6) Bibi dari pihak ayah
7) Anak perempuan dari saudara laki-laki
8) Penerima wasiat
9) Dan kerabat lain (ashabah) yang lebih utama
Ø Kalangan Madzhab Syafi’i berpendapat
bahwa hak anak asuh dimulai dari:
1) Ibu kandung
2) Nenek dari pihak ibu
3) Nenek dari pihak ayah
4) Saudara perempuan
5) Bibi dari pihak ibu
6) Anak perempuan dari saudara laki-laki
7) Anak perempuan dari saudara perempuan
8) Bibi dari pihak ayah
9) Dan kerabat yang masih menjadi mahram bagi sianak yang
mendapatkan bagian warisan ashabah sesuai dengan urutan pembagian harta
warisan. Pendapat Madzhab Syafi’i sama dengan pendapat madzhab Hanafi.
Ø Kalangan Madzhab Hanbali
1)
Ibu kandung
2)
Nenek dari
pihak ibu
3)
Kakek dan
ibu kakek
4)
Bibi dari
kedua orang tua
5)
Saudara
perempuan se ibu
6)
Saudara
perempuan seayah
7)
Bibi dari
ibu kedua orangtua
8)
Bibinya ibu
9)
Bibinya ayah
10) Bibinya ibu dari jalur ibu
11) Bibinya ayah dari jalur ibu
12) Bibinya ayah dari pihak ayah
13) Anak perempuan dari saudara laki-laki
14) Anak perempuan dari paman ayah dari pihak ayah
15) Kemudian kalangan kerabat dari urutan yang paling
dekat.[5]
D. Syarat-syarat,
Masa dan Upah Hadhanah
a. Syarat Mendapatkan Hak Asuh Anak (Hadhanah)
Kalangan
ahli fiqih menyebutkan sejumlah syarat untuk mendapatkan hak asuh anak yang
harus dipenuhi. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka hak asuh anak hilang, syarat-syarat
tersebut adalah:
Ø Syarat pertama dan kedua, berakal
dan telah baligh, sebab kelompok ini masih memerlukan orang yang dapat menjadi
wali atau bahkan mengasuh mereka. Jika mereka masih membutuhkan wali dan
membutuhkan pengasuha, maka merekpun tidak pantas untuk menjadi pengasuh untuk
orang lain.
Ø Syarat ketiga, Agama yang
mengasuh haruslah sama dengan agama anak yang diasuh, sehingga orang kafir
tidak berhak mengasuh anak Muslim. Hal ini didasarkan pada dua hal:
1) Orang yang mengasuh pasti sangat ingin anak yang
diasuhnya sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. dan ini adalah bahaya
terbesar yang dialami sianak. Dan telah dijelaskan dalam :“rsabda
Rasulullah Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua
orangtuanyalah yang menjadikan dia sebagai Yahudi, Nashrani atau Majusi.”
(HR Bukhari dan Muslim) Hadits ini menunjukkan bahwa agama anak tidak aman jika
diasuh oleh orang kafir.
2) Hak asuh anak itu sama dengan perwalian. berfirman :IAllah
“dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS Ani-Nisaa’:141)
“dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS Ani-Nisaa’:141)
Ø Syarat ke empat, mampu
mendidik, sehingga orang yang buta, sakit, terbelenggu dan hal-hal lain yang
dapat membahayakan atau anak disia-siakan maka tidak berhak mengasuh anak.
Ø Syarat kelima, ibu
kandung belum menikah lagi dengan lelaki yang lain, berdasarkan sabda rNabi
: “Kamu lebih berhak dengannya selama kamu belum menikah lagi”
(hasan. ditakhrij oleh Abud Dawud 2244 dan An-Nasa’i 3495).
b. Masa pengasuhan anak
Menurut
Rahman, tidak ada keterangan yang jelas dari Al-Quran dan Hadits yang
menerangkan tentang masa hadhanah, hanya ada isyarat yang menerangkan ayat
tersebut. Karena itu para ulama berijtihad sendiri dalam menetapkan batas waktu
dalam pemeliharaan anak. Adapun pendapat tentang batas waktu hadhanah yang
ditentukan oleh Imam Mazhab sbb:
Ø Menurut imam Hanafi, batas hadhanah bagi anak
laki-laki adalah hingga ia bisa mengurus dirinya sendiri, dalam arti anak
tersebut sudah mampu makan, minum, mengatur pakaian dsb. Sedangkan masa
hadhanah bagi anak perempuan adalah apabila telah baligh, atau telah datang
masa haid pertamanya. Sehingga kalau dihitung dengan jumlah tahun menurut imam
Hanafi yaitu, bagi anak laki-laki berumur 19 tahun dan bagi anak perempuan
berumur 11 tahun.
Ø Menurut imam Syafi’i batas minimal berakhirnya
hadhanah yaitu jika anak sudah mumaiyiz, baik anak laki-laki maupun perempuan,
sehingga bila diperkirakan dengan hitungan tahun yaitu antara 5 dan 6 tahun.
Ø Menurut Abdul Azzim bahwa batas mumaiyiz seorang anak
untuk dapat menentukan pilihannya adalah 7 tahun, sehingga waktu pengasuhan
anak ditetapkan selama 7 tahun
Dalam kompilasi hukum islam, yang
dirujuk oleh M. Ali Hasan bahwa seorang anak yang belum mumaiyyiz adalah
berumur 12 tahun, dan hak asuh diberikan kepada seorang ibu.[6]
c. Upah Hadhanah
Seorang ibu
berhak atas upah hadhanah, selama ia masih menjadi isteri dari ayah anak itu,
atau selama dalam masah iddah. Karena dalam keadaan tersebut ia masih mempunyai
nafkah sebagai isteri atau nafkah masa iddah.
Allah swt
berfirman, Q.S Al-Baqarah-233:
رزقهن
المولودلهوعلى .الرضاعه يتمان اراد لمن كاملين حولينا
ولادهن يرضعن والوالدات
(233:البقرة).....بالمعروف
وكسوتهن
Artinya: “para ibu hendaklah
menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyususan. Dan kewajiban ayah memberikan makanan dan pakaian kepada ibu dengan
cara yang ma’ruf”.
Adapun
setelah habis masa iddahnya, maka ia (ibu) berhak atas upah seperti haknya
sebagai upah menyusui. Allah berfirman, Q.S At-Thalaq-6:
اخرى له
فسترضع تعاسرتم وان بمعروف بينهم واتمروا اجورهن فاتوهن
“maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu
untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahlah diantara kamu
(segala sesuatu) dengan baik, dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan
lain boleh menyususkan (anak itu) untuknya”.
Perempuan
selain ibunya boleh menerima upah hadhanah sejak ia menangani hadhanahnya.
Seperti halnya perempuan penyusu yang bekerja menyusui anak kecil dengan
bayaran upah (upah). Seorang ayah wajib membayar upah penyususan dan hadhanah,
juga wajib mebayar ongkos sewa rumah atau perlengkapannya jika sekiranya si ibu
tidak memiliki tempat tinggal sendiri sebagai tempat pengasuhannya.[7]
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Dari uraian penulisan makalah tersebut dapat kami simpulkan bahwa Hak dan kewajiban Istri
yaitu Hak hak istri yang menjadi kewajiban suami dapat
dibagi dua : hak-hak kebendaan, yaitu mahar (mas kawin) dan nafkah, hak hak
bukan kebendaan, misalnya berbuat adil diantara para istri (dalam perkawinan
poligami), tidak berbuat yang merugikan istri dan sebagainya. Hak dan kewajiban suami yaitu Hak-hak suami dapat disebutkan pada
pokoknya ialah hak ditaati mengenai hal-hal yang menyangkut hidup perkawinan
dan hak memberi pelajaran kepada istri dengan cara yang baik dan layak dengan
kedkan suami istri.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Azhar Basyir, 2007 Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press
Sabiq, Sayyid. 2007. Fiqh Sunnah, Jakarta : Pena Pundi Aksara
Al-Jamal, Ibrahim
Muhammad. 1986 Fiqih Wanita. diterjemahkan
oleh Ansori Umar Sitanggal, Semarang : ASY-SYIFA
Ayyub, Syaikh Hasan. 2008 , Fiqh
Keluarga, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,
Hasan, M. Ali. 2003. pedoman hidup berumah
tangga dalam islam, Jakarta: Prenada Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar