Rabu, 24 Juni 2015

politik pendidikan indonesia


TUGAS KOMENTAR
Disusun guna memenuhi tugas:
Mata kuliah
Dosen pengampu
:
:
Politik Pendidikan
H. Ahmad Mutammam, M.Ed



      
Description: Description: C:\Users\baweh\Downloads\LOGO STAIKAP.jpg


Disusun oleh:

MOH ABAN FALAHI (342112020)


PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM KI AGENG PEKALONGAN (STAIKAP)
2014
BAB I
POLITIK PENDIDIKAN SEBAGAI KAJIAN AKADEMIS

            Pada bagian ini, saya akan mencoba mengomentari apakah politik pendidikan sebagai sebuah kajian akademis. Terlebih dahulu saya akan menjelaskan apa itu pengertian politik, pengertian pendidikan, dan mengenai apakah sebenarnya kajian politik pendidikan, bagaimana sejarah, perkembangan, dan keberadaannya di Indonesia. Sebelum berkomentar saya cantumkan cuplikan beberapa ahli mengenai ilmu politik.
v  Roger F. Soltau dalam introduction to politics, “ Ilmu politik mempelajari Negara, tujuan-tujuan Negara, dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan-tujuan itu, hubungan Negara dengan warga negaranya serta dengan Negara-negara lainnya.”
v  J. Barents, dalam ilmu politika, “ Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari kehidupan bernegara, yang merupakan bagian dari kehidupan bermasyarakat; ilmu politik mempelajari Negara-negara itu melakukan tugas-tugasnya.
v  Joyce Mitchell dalam bukunya Political of analysis and public policy, “Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk masyarakat seluruhnya.”
Selanjutnya beralih pada pengertian pendidikan itu sendiri, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseoran atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan persamaan dan perbedaan antara politik dan pendidikan.
Persamaan :
-           Politik dan pendidikan sama-sama berkaitan dengan urusan manusia hidup di dunia.
-          Alat untuk mencapai tujuan
-          Manusia sama sekali tidak bisa dikatakan apolitis dan tidak berpendidikan secara total
Perbedaan :
-          Politik lebih berkaitan dengan pencapaian posisi manusia dalam wilayah atau sebuah kekuasaan, baik itu skala besar atau kecil.
-          Pendidikan lebih pada pencapaian manusia memperoleh pengetahuan, kecerdasan dan ketrampilan untuk persiapan hidup kedepan atau terjun dalam masyarakat yang lebih luas.
Menurut saya politik dan pendidikan ibaratkan dua sisi mata uang yang tak
terpisahkan, antara keduanya saling berkaitan. Realitanya politik membutuhkan trik dan strategi yang jitu untuk mencapai tujuan tertentu juga pendidikan selamanya selalu mengarahkan dan menghantarkan pada suatu kebijakan politik tertentu. Kajian politik pendidikan  harus kita fokuskan yang menangkut studi komparatif terhadap pengaruh Negara, manajemen/control terhadap pendidikan, dan yang terpenting kajian politik pendidikan selalu berkaitan erat dengan perkembangan mutakhir kehidupan social dan politik di negeri ini.
            Menurut saya kajian politik pendidikan harus terus digalakkan secara konsisten terutama oleh kalangan intelektual secara proporsional. Karena politik pendidikan nasional berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pendidikan yang dilakukan sebuah bangsa untuk mencerdaskan anak didiknya. Hal tersebut berkaitan dengan birokrasi pendidikan, anggaran pendidikan, kebijakan kurikulum nasional, dan lain sebagainya.
            Kita harus membedakan antara politik pendidikan dengan pendidikan politik, kemudian membedah politik pendidikan sebagai sebuah kajian akademis dan bagaimana praktik politik birokrasi pendidikan, politik anggaran pendidikan, politik pemerataan pendidikan, politik kebijkan UN, dan politik kurikulum, yang semuanya itu merupaka alat politik pendidikan nasional sehingga kita dapat mengetahui ukuran keberhasilan dan kegagalan tersebut adalah sesuai niatan, tujuan pendidikan nasional.
            Seperti yang dikatakan oleh muhammad rifai bahwa “ negara kita ini memakai ideologi pancasila yang berarti seharusnya indonesia mempunyai Nilai-nilai luhur pancasila berpijak atau bertumpu pada konsep kemakmuran dan keadilan hal itu berarti kemakmuran yang dicita-citakan harus dinikmati dan merupakan hak semua warga Negara Indonesia tanpa kecuali dengan memberikan kesempatan yang sama merata pada seluruh rakyat untuk menggapainya ,hak yang sama untuk mengecap pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi dan untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu/berkualitas ,menggunakan semua fasilitas (sarana dan prasarana pendidikan).
Dan demikian pula kebijakan pendidikan dalam era globalisasi yang terlalu melihat keluar (outward looking) sehingga meninggalkan masalah-masalah domestic,benar kita harus mempersiapkan bangsa kita untuk menghadapi era globalisasi tersebut tetapi kita harus sadar bahwa perkembangan pendidikan kita masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Negara-negara tetangga, ini adalah masalah-masalah yang konkrit dalam dunia pendidikan kita ditanah air,jadi kita benahi dulu mutu pendidikan dalam negeri kita kemudian kita mempersiapkan bangsa kita untuk menunju pasar bebas tersebut.
Kebijakan politik diera globalisasi hendaknya juga diarahkan /ditujukan untuk memperkuat rasa harga diri manusia Indonesia,karena dengan rasa harga diri yang kuat manusia itu mempunyai kemerdekaan (manusia yang bermutu,manusia yang siap pakai).Identitas manusia,identitas kelompok,identitas suatu bangsa merupakan ungkapan dari kemerdekaan seseorang dalam menentukan eksistensinya sendiri didunia ini (ia akan menentukan kemana arah ia akan melangkah sesuai kualitas dirinya)Inilah wujud kebijakan pendidikan yang didasarkan kepada moral Pancasila.

BAB II
DASAR DAN TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL

            Saya berpendapat mengenai dasar dan tujuan pendidikan nasional sudah jelas dan terang bahwa dasar diadakannya pendidikan tidak lain sumbernya adalah Pancasila dan UUD 1945. Kedua hal tersebut merupakan landasan bagi kita untuk hidup bersama dalam keberagaman suku, budaya, ras, dan agama. Lebih jauh lagi kedua hal tersebut menjadi tuntutan dalam menerapkan perundang-undangan lannya, terutama penyelanggaraan pendidikan nasional.
            Catatan sejarah mengatakan munculnya pancasila sebagai bentuk pertemuan berbagai pikiran para the founding father dengan latar belakangnya masing-masing yang melihat keragaman budaya, agama, bahasa, dan suku di Indonesia agar bersatu dalam satu wadah kebangsaan dan kenegaraan dengan tetap menghargai perbedaan tersebut.
            Sementara itu, tujuan pendidikan nasional tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan NKRI adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya. Menurut saya makna tujuan pendidikan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya terlalu rumit, luas dan bersifat umum. Karena hal ini menyangkut pembentukan kepribadian manusia Indonesia yang beragam dan ini akan menjadi sebuah beban pada pelaksanaannya,
            Bisa disimpulkan dari tujuan pendidikan nasional  melalui data yang merunjuk pada UU pendidikan nasional dari orde lama sampai orde reformasi. Fokusnya adalah meningkatkan kecerdasan, mengembangkan kemampuan bakat,potensi, berakhlak mulia, bertuhan, demokratis, pluralis, dan berketrampilan, kemandirian yang kuat, penuh tanggungjawab, menghormati tradisi,  dan mengikuti perkembangan zaman, informasi dan teknologi. Dari sini kita dapat melihat bagaimana tujuan pendidikan nasioanal bisa dikatakan hampir mencakup semua segmen, baik ekonomi, sosiaol, budaya, politik maupun sejarah kebangsaan kita.
            Akan tetapi, persoalannya adalah kita melihat bagaimana dari oerkembangan tujuan pendidikan nasional terdapat beberapa perubahan, berkaitan perincian tujuan tersebut kelewar detailnya, padahal seharusnya merupakan wilayah penjabaran dan turunan dari gerakan mencapai tujuan tersebut dan saya lebih cenderung setuju dengan tujuan pendidikan menurut Jacques Delors, yang kemudian dikenal dalam empat pilar pendidikan versi UNESCO, sebgai berikut :
a.       Learning to know, belajar untuk mengetahui
b.      Learning to do, belajar untuk dapat berbuat
c.       Learnig to be, belajar untuk menjadi dirinya sendiri
d.      Learning to live together, belajar untuk hidup bersama dengan orang lain.
            Menurut saya tujuan pendidikan UNESCO terlihat sederhana, umum, tetapi menunjukkan kecerendungan natural manusia yang humanis. Dan menjadi tugas bagi para penanggungjawab dan pengelola atas politik pendidikan nasional dari atas sampai bawah yaitu eksekutif(presiden), legislative(parlemen, kementrian atau depatemen pendidikan pusat), pengatur tingkat pusat(propinsi dan kabupaten), pengatur tingkat daerah(kecamatan dan desa), pengatur wilayah paling kecil(kepala sekolah, guru, sekolah, dan pelaksana pendidikan).
            Bentuk pelaksanaan dasar dan tujuan diadakannya pendidikan nasional jiga bisa dilihat dari bagaimana pemerintah membuat jenis dan jenjangnya, dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, dari pendidikan formal, non formal, informal, pendidikan kedinasan, maupun sekolah luar biasa atau pendidikan terbuka. Pemerintah juga membuat kurikulum nasional, pemerataan, dan peningkatan kualitas pendidikan. Pemerintah juga mengadakan desentralisasi pendidikan, otonomi pendidikan tinggi, dan mengupayakan pembiayaan pendidikan nasional 20% dari APBN dan APBD.
            Dari sanalah kita akan melacak perjalanan dan bagaimana politik pendidikan nasional diterapkan. Jika tujuan diadakan pendidikan nasional begitu mulia, misalnya mencerdaskan kehidupan, mengangkat harkat martabat manusia, mengembangkan bakat, serta menciptakan manusoa yang bermartabat dan berakhlak mulia, mengapa saat ini kondisi pendidikan nasional masih morat-marit, masih belum mencerdaskan, dan terjadi kekerasan , korupsi, dan akses pendidikan  yang mahal. Tentunya, hal ini menjadikan saya beranggapan bahwa ada yang salah dari operasional politik pendidikan nasional tersebut.
            Para guru atau pendidik di Indonesia hari ini, tidak bisa lagi hanya menjalankan tugas seperti halnya dilakukan para guru masa lalu. Tantangan dan persoalan serta kondisi anak didik maupun lingkungan sekitar sudah jauh berubah dan sangat berbeda, sehingga mengharuskan adanya para pendidik yang berkemampuan luar biasa, pendidik yang benar-benar profesional. Diharapkan dengan adanya guru yang profesional di dalam kelas dan berperilaku menjadi teladan bagi anak didik di dalam maupun luar kelas, ditambah dengan dukungan peran orang tua, lingkungan masyarakat yang kondusif, dan pemerintah yang kebijakannya konsisten dan mantap menopang kemajuan pendidikan, pada saatnya pencapaian kualitas pendidikan di Indonesia akan dapat terpenuhi dengan baik.
Ini semua menjadi otokritik bagi kita semua, sehingga memasuki tahun 2014 seharusnya semua pihak dapat bergerak bersama-sama membenahi dunia pendidikan di Indonesia, sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing untuk mencari solusi terbaik mengatasi problematika pendidikan di tanah air. Tapi, peran pemerintah juga harus hadir cukup kuat di tengah masyarakat, untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas di negeri kita ini.


BAB III
BIROKRASI PENDIDIKAN YANG RUMIT

            Menurut saya makna birokrasi sendiri itu untuk kepentingan orang banyak, sehingga pelaksanaannya pun harus bisa mempermudah mengatur suatu pekerjaan. Namun kita beranggapan bahwa birokrasi sering dikaitkan dengan keterikatan dan kekauan orang atau kelompok orang yang sudah masuk dalam salah satu birokrasi. Maka, hal ini tidak semata-mata disebabkan oleh perilaku birokrat, tetapi system atau tindakan lembaga yang memiliki birokrat tersebut. Kendala dalam lingkup birokrasi inilah yang menjadi belenggu dahsyat terhadap kreatifitas, inovasi, dan imajinasi pimpinan dalam menjalankan leadership management.
            Terkadang kita terkalahkan bahkan tersingkirkan hanya karena sebuah birokrasi, seakan-akan birokrasi menjadi tembok penghalang kita yang seharusnya menjadi jalan tol untuk menjalankan sesuatu. Paradoks birokasi pendidikan nasional di satu sisi arah kebijakan pembangunan nasional secara umum ke depan adalah menyukseskan terselengaranya otonomi daerah di bidang pendidikan da kebudayaan dengan prioritas melanjutkan  peningkatan, perluasan, pemerataan, kesempatan mendapatkan pendidikan, peningkatan mutu, efesiensi, dan efektifitas pengelolaan pendidikan da kebudayaan. Namun di sisi lain, penguasa lebih mementingkan target daripada proses. Ada kecenderungan amat politis di dalamnya. Di satu sisi ada upaya untuk meningkatkan kemampuan akademik dan professional  serta meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidik sehingga mampu melaksanakan tugasnya secara optimal.
            Kemudian lembaga pendidikan di Indonesia lebih cenderung  pada pendekatan birokrasi, terutama lembaga pendidikan negeri. Untuk yang swasta, karena mereka harus mengikuti standar nasional dan standar yang mengatur itu dalah depdiknas, dengan sendirinya mereka ikut-ikutan menjadi birokratis. Karena bisa dikatakan bahwa birokrasi inilah yang menentukan perjalanan semua lembaga pendidikan nasional.
            Menurut saya seharusnya birokrasi memeberikan pelayanan baik  bagi kelancaran jalannya pendidikan dan kemajuannya, Birokrasi diharapkan mampu berperan vital. Reformis, dinamis, inovatif, aspiratif, transparan, dan bersifat mengayomi, tetapi sanpai saat ini, ternyata birokrasi era reformasi  tidak jauh berbeda dengan orde baru. Birokrasi saat ini masih saja kehilangan kepekaan tehadap pengembangan pendidikan sebagai penghargaan tertinggi terhadap nilai kemanuisaan manuisa. Akibtanya lahirnya manusia yang siap pakai yang sama dan sebangun. Bukan perintis, pemberani bertindak akhlak mulia.
            Saya setuju bahwa pendidikan yang unggul memang memutuhkan anggaran dan kemampuan SDM  yang ahli di bidangnya. Namun masih ada yang luput dari perhatian kita. Departemen Pendidikan Nasional  membutuhkan struktur dan mekanisme birokrasi yang kondusif untuk berkembangnya gagasan seta pemikiran agar dapat mendorong inovasi dalam system dan proses pendidikan secara berkelanjutan. Sampai saat ini, struktur birokrasi memegang peran luar biasa dalam menghasilkan semua keputusan daripada para pemikir atau analis pendidikan.
            Politik birokrasi pendidikan nasional bisa saya simpulkan bahwa birokrasi pendidikan nasional di zaman reformasi ternyata masih saja belum menampakkan pembaruannya. Birokrasi kita masih rumit, berputar-putar, sekian kursi sekian meja, yang menghabiskan waktu, uang, tenaga, pikiran, dan perasaan untuk bersabar, hanya untuk mengurus kelulusan, mendaftarkan diri mendapat beasiswa, dan lain sebagainya. Memang menjadi pertanyaan besar mengapa sampai saat ini belu ada revolusi birokrasi. Kebijakan pemerintah untuk  mengejar ketertinggalan pendidikan secara global adalah sesuatu yang original, namun membutuhkan sumbangan pemikiran inovatif dari brbagau pihak. Namun, sampai saat ini, keikutsertaan para pemikir dil uar system birokrasi dalam menentukan arah dan jalannya pendidikan baru dianggap sebagai sekedar masukan yang belum dijamin berpengaruh. Setiap gagasan inovatif yang muncul sering terpaksa harus berbenturan dengan kewenangan. Birokrasi sering berupaya keras menolak upaya perubahan dengan motivasi untuk bertahan dengan praktik-praktik sekarang. Akibatnya arah dan kebijakan pendidikan kembali ditentukan struktur kekuasaan nyatanya amat sulit dipisahkan dengan kepentingan







BAB IV
ANGGARAN PENDIDIKAN: KALAU TIDAK SEDIKIT,
YA DIKORUPSI

Pendidikan adalah roh kehidupan seseorang, apapun itu semua ditentukan oleh sejauh mana tingkat pendidikan seseorang. Karena berawal dari pribadi kita masing-masing kehidupan berbangsa dan bernegara kita ditentukan oleh nasib pendidikan. Jadi, sudah sepatutnya kita perbaiki diri kita sendiri sebelum memperbaiki tatanan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional yang seindah apapun, yang sebesar apapun akan terbuang sia-sia jika dijalankan oleh pemangku kekuasaan yang baik dan bijak. Hal ini berkaitan dengan perhatian pemerintah dalam anggaran pendidikan, sejauh mana keseriusan dan kepekaan terhadap pendidikan di Indonesia.
Anggaran fungsi pendidikan nasional pada tahun 2014 menjadi Rp 371,2 triliun. Alokasi itu naik 7,5 persen jika dibandingkan dengan anggaran pendidikan tahun 2013 sebanyak Rp345,3 triliun. Hal ini telah sesuai dengan amanat konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 untuk mengalokasikan 20 persen dari APBN. Setiap tahun anggaran pendidikan di Indonesia mengalami trend kenaikan. Tetapi trend kenaikan ini tidak disertai dengan peningkatan kualitas pendidikan. Menggutip berita dari kompas.com (23/05/2013), Pada tahun 1997, kualitas pendidikan Indonesia menempati peringkat ke-39 dari 49 negara yang disurvei. Adapun tahun 2007, kualitas pendidikan Indonesia menurun menjadi peringkat ke-53 dari 55 negara yang disurvei. Padahal, anggaran pendidikan meningkat selama masa Reformasi karena dipatok harus 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
            Alokasi anggaran pendidikan pada tahun 2013, yang diklaim pemerintah telah mencapai 20% dari jumlah APBN sampai saat ini belum berhasil menyelesaikan permasalahan-permasalahan di dunia pendidikan. Sekitar 160 ribu sekolah di nusantara tercatat tidak layak pakai, mutu dan kualitas guru yang masih jauh di bawah standar. Mengutip dari kompas.com (23/05/2013) Pada uji kompetensi guru yang diikuti guru bersertifikat, rata-rata nasional untuk nilai guru hanya 43,2. Adapun nilai rata-rata nasional para guru yang belum bersertifikat di uji kompetensi awal berkisar 42,25. Di sisi lain, kondisi minimnya riset berkualitas yang mampu menembus di jurnal internasional setelah 15 tahun Reformasi masih menjadi persoalan. Publikasi ilmiah (1996-2009), berdasarkan data dari Scimago Journal & Country Rank, 2011, dalam satu tahun posisi Indonesia tidak beranjak. Pada tahun 2010, Indonesia berada di posisi 64, dan tahun berikutnya tetap di posisi 64 dari 70 negara. Negara-negara lain bisa maju, seperti Malaysia pada tahun 2011 di posisi 44 dan pada tahun 2010 di posisi 48. Adapun Banglades lebih unggul dari Indonesia di posisi 62. Thailand dan Singapura juga lebih unggul dari Indonesia. Di kawasan ASEAN, Indonesia belum mampu menembus dominasi Singapura, Malaysia, dan Thailand dalam berbagai penilaian mutu pendidikan. Misalnya, dalam pengukuran kemampuan sains, matematika, dan membaca lewat Program for International Studnt Assessment ataupun TIMS untuk siswa berusia 15 tahun, Indonesia berada di urutan bawah.
            Beberapa fakta dan data diatas membuktikan bahwa anggaran yang besar tidak dapat menjamin perbaikan mutu pendidikan, malahan dengan semakin besarnya anggaran, semakin  menciptakan peluang korupsi di anggaran pendidikan. Mengutip pernyataan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada okezone.com (27/02/2013), Korupsi juga merajalela di sekolah dan perguruan tinggi. Banyak orangtua terpaksa menyuap sekolah agar anak-anak mereka lulus tes masuk, atau membayar fasilitas yang seharusnya disediakan oleh negara. Indonesian Corruption Watch (ICW) mengklaim, hanya sedikit sekolah Indonesia yang bersih dari korupsi, dengan 40 persen biaya operasional sekolah yang seharusnya menjadi jatah mereka "disunat" sebelum sampai ke ruang kelas. 
            Masalah anggaran pendidikan di Indonesia memang sangat kompeks. Di dalam sejarahnya, semenjak republic ini dipimpin oleh presiden Soekarno kemudian beturut-turut digantikan oleh presiden Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono, belum pernah pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan yang memadai. Menurut saya jangan mempermasalahkan tinggi atau rendahnya anggaran pendidikan, toh realitanya di lapangan juga membuktikan bahwa anggaran pendidikan setiap tahunnya tidak pernah habis, tetapi selalu tersisa mencapai ratusan juta rupiah. Kalau memang persoalannya adalah kecilnya anggaran pendidikan, logikanya, semua dana pendidikan yang tersedia dapat terserap. Memang anggaran yang tinggi itu penting, tapi bukan yang terpenting, untuk memperbaiki system pendidikan nasional. Artinya, anggaran setinggi apapun tidak menjamin akan mampu memperbaiki system pendidikan nasional, bila para pengelola masih tetap bermoral korup, kolusi, project oriented, dan kurang memiliki kemampuan manajerial.
            Apa yang bisa saya simpulkan dari kebijakan politik pendidikan berkaitan denga sudut pandang anggarannya tidak lain adalah kurangnya pemerintah dalam memberikan perhatian pada pendidikan sebagai bentuk upaya pencerdasan, harga diri bangsa, dan penguatan karakter bangsa yang menghormati budayanya. Banyak Negara, baik yang tak dikenal maupun Negara tetanggaranya di Asia tenggara, sudah lama melampaui atau lebih banyak porsi anggaran tersebut. Kita mungkin tidak punya rasa malu yang besar atas persoalan tersebut, dan tragisnya tidk punya rasa malu bahkan hal tersebut terjadi sudah lama. Hal tersebut dilanjutkan kembali dengan pengelolaan anggaran pendidikan yang sudah sedikit atau paling rendah terjadinya penyunatan.
            Dan Institusi /lembaga yang paling korup nomor satu adalah Institusi pendidikan nasional baik dari Mendikbud ataupun Kemenag. Tragisnya, hal tersebut terjadi ketika era reformasi berjalan dan ketika angaran pendidikan nasional direalisasikan sebesar 20%. APakah hal tersebut tidak menunjukkan paradox dari politik pendidikan nasional dari sudut anggaran? Apalagi, nyatanya stelah terjadi desentralisasi prndidikan dan desentralisasi kewenangan pusat dan daerah justru menjadikajn biaya pendidikan menjadi mahal.
Pemerataan penyaluran bantuan penyaluran anggaran selama ini dinilai tidak tepat sasaran dikarenakan masih banyaknya sekolah yang lebih membutuhkan , namun tidak tersentuh bantuan. Bantuan anggaran lebih berfokus kepada sekolah-sekolah diperkotaan. Sedangkan sekolah dipelosok daerah masih bnayak yang terbengkalai.  Perlu adanya skala prioritas dari pemerintah terhadap besaran bantuan yang diberikan setiap sekolahnya.Meminta peran aktif pemerintah setempat unuk melaporkan keadaan sekolah baik infrastruktur maupun tenaga pengajar dengan semaksimal mungkin sehingga, sekolah yang sudah memasuki kategori urgent (sangat membutuhkan) bisa mendapat bantuan.
Penggunaan anggaran yang efektif dan efisien . Anggaran pendidikan sekarang ini tidak akan pernah terasa cukup, apabila penggunaannya tidak efektif dan efisien. Banyak sekali kebocoran anggaran yang terjadi selama ini. Salah satu fakta di lapangan ditemukan bahwa, banyaknya sekolah yang rusak di karenakan pembangunan sekolah menggunakan material yang tidak standar, sehingga sangat mudah rusak. Hal semacam ini terus berulang dan bahkan sudah menjadi budaya dikalangan pemangku jabatan baik di pihak kementrian maupun pihak sekolah. Apabila hal ini terus dibiarkan maka, kebutuhan anggaran akan infrastruktur tidak akan pernah tercukupi
Penguatan pengawasan penyaluran anggaran. Minimnya pengawasan penyaluran anggaran pendidikan di daerah, membuat prkatek korupsi makin merajalela. Perlu adanya tindakan pengawasan yang ketat dari pihak yang terkait. Dalam pengawasan pengelolaan anggaran, perlu adanya lembaga yang kompeten, professional, independen serta akuntabel dalam menjalankan pengawasan akan anggaran.



BAB V
POLITIK PENDIDIKAN NASIONAL
MASIH MENJADI RUANG TERPISAH
Pendidikan harus dipandang sebagai investasi SDM handal untuk membangun masa depan bangsa dan negara. Oleh sebab itu pendidikan tidak boleh ditunggangi kepentingan politik sesaat. Semua elemen negara dan masyarakat harus satu hati mengupayakan sistem pendidikan yang berkualitas. Sektor pendidikan ini juga harus didukung sector-sektor lain seperti pembangunan sarana prasarana jalan yang baik, pelayanan kesehatan masyarakat dan lain sebagainya.
Politik pendidikan nasional saat ini masih menjadi ruang terpisah dan tidak berkesinambungan dengan bidang lain, seperti budaya, ekonomi, maupun politik. Menurut saya politik pendidikan nasional kita hanya mengfokuskan pada perbaikan internal pendidikan dengan menaikkan anggaran pendidikan sebesar 20%. Tanpa disertai kenaikan di sector-sektor lain. Padahal hal ini sangat berkaitan dengan pembangunan-pembangunan lain, pendidikan juga butuh sarana prasarana yang memadahi, jalan menuju sekolah, transportasi yang lancer dan dapat dijangkau, ketersediaan puskesmas terdekat/layanan kesehatan anak, dan semua nya butuh anggaran dana yang jelas dan akuntable.
Saya setuju dengan Darmangtyas bahwa kebijakan-kebijakan pendidikan umumnya juga sangat diskriminatif, seperti perlakuan terhadap sekolah-sekolah swasta, penerimaan siswa/mahasiswa baru yang didasarkan pada ras dan agama serta pengamgkatan guru yang juga didasarka pada ras dan agama. Memang tidak ada kebijakan tertulis dalam hal penerimaan siswa/mahasiswa baru di sekolah-sekolah/perguruan tinggi lain.  Akan tetapi kalau kita telisik latar belakang ras dan agamanya, di sekolah-sekolah/PTN negri, orang yang bukan beragama bukan islam ada dikisaran angka 30-40% (tergantung mayoritas agama yang dianut oleh penduduk wilayah tersebut) dan yang beretnis china tidak lebih 3%. Demikian pula rekruitmen tenaga pengajar (dosen maupun guru) karena didasarkan pada kesamaan ras dan agama, tidak membuka kemungkinan lain yang lebih luas
Bila kebijakan-kebijakannya saja diskriminatif dan para pengambil kebujakannya berpikiran sempit dan kerdil, logislah bila kemudian kita menunut pendidikan di negeri ini mampu menghasilkan orang-orang yang tidak diskriminatif, solider, toleran dan mampu mencintai sesama?
Melalui apresiasi tulisan Darmaningtyas yang dikaitkan dengan kondisi politik pendidikan kita selama ini, masih menjadi ruang terpisah dari politik kekuasaan yang jelas-jelas memuat menuntut keadilan, kebersamaan dan kesejahteraan. Kita sering melihat dalam sejarah politik pendidikan nasional bahwasanya focus pendidikan nasional tidak dilakukan secara konsisten. Jika berganti menteri, otomatis berganti kebijakan atau berganti kurikulum. Lalu, focus pemerataan pendidikan yang ternyata tidak diimbangi dengan kerja lain, seperti peningkatan kualitas pendidikan nasional. Atau, penignkatan kualitas tidak dibarengi dengan pemerataan dan kemudahan akses pendidikan bagi kalangan terpinggirkan, miskin secara social ekonomi.


BAB VI
PEMERATAAN PENDIDIKAN NASIONAL
BELUM MERATA

Indonesia merupakan negara yang luas, yang terdiri dari belasan ribu  pulau dan kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Kita patut bersyukur, karena banyaknya hal positif yang kita dapatkan dari luasnya Indonesia. Banyaknya jumlah masyarakat di Indonesia dapat membantu dalam hal pengembangan Indonesia menjadi negara maju. Sumber daya manusia yang berkualitas diperlukan untuk tujuan ini. Namun untuk menjadi sumber daya yang berkualitas tentu saja diperlukan pendidikan yang baik. Salah satu yang menjadi penghalang yaitu pelayanan pendidikan yang kurang merata. Kesulitan untuk menjangkau daerah terpencil di Indonesia membuat anak-anak penerus bangsa tidak dapat menikmati pendidikan yang berkualitas.
 Saya setuju dengan perkataan muhammad rifai dalam bukunya bahwa “ kita masih belum bisa memberantas buta huruf hingga 100% ”. Karena  pendidikan masih menjadi barang langka bagi sebagian penduduk Indonesia, di pelosok-pelosok masih banyak anak-anak negeri ini yang belum mendapatkan pendidikan secara layak. Mereka masih harus berjuang keras untuk bisa mengenyam bangku sekolah. Bahkan, beberapa harus mempertaruhkan nyawanya. Semua mereka lakukan demi mengejar cita-cita, sekalipun mereka hanya bersekolah di sebuah tempat yang sesungguhnya tak pantas di sebut sekolah. Inilah potret buram pendidikan Indonesia.
Anak-anak di pelosok hanyalah satu dari banyak contoh untuk ketidakmerataan pendidikan di Indonesia. Ini bisa menjadi alasan mengapa daerah-daerah pelosok tidak dapat menunjukkan eksistensinya. Mereka masih hidup dalam keterpurukan. Padahal sesungguhnya daerah-daerah tersebut menyimpan potensi yang luar biasa. Hanya saja, masyarakat di sana belum mampu untuk mengembangkannya. Salah satu pemicunya adalah  minimnya pengetahuan yang dimiliki masyarakat akan potensi daerah mereka. Masyarakat di pelosok masih sangat awam untuk mengeksplor kekayaan wilayahnya. Sehingga kondisi tersebut membuka peluang bagi banyak pihak untuk meraup keuntungan. Mereka memanfaatkan dalih pengembangan potensi daerah untuk memperkaya diri. Sementara itu, masyarakat hanya bisa menjadi penonton karena pengetahuan mereka tidak cukup untuk mencegahnya. Akhirnya ketidakmerataan pendidikanlah yang harus bertanggung jawab.
Masyarakat di pelosok perlu pendidikan yang setara. Mereka harus mampu melindungi kekayaan daerah dari penjarahan oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Pendidikan akan mencetak genarasi yang mampu melawan musuh dengan cara yang lebih elegan. Intelektualitas adalah sebuah barang mahal yang tak mudah untuk ditaklukkan.
Hal ini menjadi tugas tidak hanya bagi pemerintah tetapi juga masyarakat untuk melancarkan arus pendidikan di daerah terpencil. Masyarakat di daerah terpencil membutuhkan sebuah tempat penuh ilmu yang dinamakan sekolah. Untuk itu, perlu diadakan program pemerataan pendidikan di daerah terpencil, terluar dan tertinggal.
Persoalan kurangnya pemerataan pendidikan bukan hanya skala nasional, melainkan juga daerah terjadi hal serupa. Tujuan politik pendidikan nasional yang paling pokok dari dulu hingga sekarang adalah persoalan pemerataan pendidikan nasional, yang bisa diartikan bahwasanya semua rakyat Indonesia bisa mengakses pendidikan tidak terhalangi oleh factor, baik latarbelakangnya, etnisnya, agamanya, sukunya, bahasanya, maupun ekonominya. Persoalan tersebut sampai sekarang belum busa dikatakan sebagai bentuk program yang berhasil.

BAB VII
KUALITAS/MUTU PENDIDIKAN
BELUM BISA DIBANGGAKAN

Saya setuju dengan pernyataan dari muhammad rifai dalam bukunya bahwa “ kualitas pendidikan nasional kita kurang”. Seperti yang kita lihat sekarang keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan.  Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya. Terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima dijurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan.
Belum lagi kesejahteraan guru merupakan aspek penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam menunjang terciptanya kinerja yang semakin membaik di kalangan pendidik. Namun kenyataannya masalah kesejahteraan guru belum mendapatkan perhatian besar dari pemerintah. Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia.  Guru sebagai tenaga kependidikan juga memiliki peran yang sentral dalam penyelenggaraan suatu sistem pendidikan. Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
Sementara itu, dalam forum kompasania disebutkan ada tujuh persoalan yang menyebabkan kualitas pendidikan Indonesia masih rendah, yaitu sebagai berikut :
1.      Pembelajaran yang terpaku pada buku paket(kurikulum buku paket)
2.      Model pembelajaran ceramah
3.      Kurangnya daya dukung sarana prasarana dari regulator
4.      Peraturan yang membelegu
5.      Guru tidak mengajari keterampilan bertanya, murid tidak berani bertanya
6.      Guru tidak berani mengajukan pertanyaan terbuka
7.      Siswa menyontek guru pun juga
Data di atas kiranya relevan dan sesuai dengan realita pendidikan kita saat ini walaupun zaman sudah berganti menuju reformasi. Nyatanya, mentalitas para pemangku dan pelaksana kebijakan belum  bisa membawa suasana pendidikan yang berkeadaban, produktif dan berkarakter.
Ada beberapa elemen dasar bagaimana kita meningkatkan mutu pendidika di Indonesia
1.      Insan pendidikan patut mendapatkan penghargaan, oleh karena itu berikanlah penghargaan
2.      Menngkatkan profesionalisme guru dan pendidik
3.      Sebisa mungkin kurangi dan berantas korupsi
4.      Berikan sarana prasarana yang layak
Dan beberapa solusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional, pertama menerapkan system praktik dalam skala besar-bisa jadi 20% teori dan materi di kelas, sedangkan 80% dipraktikkan.
Kedua, mendukung sekolah alternative sebagai bentuk lain upaya pencerdasan anak bangsa. Sekolah alternative lebih mengarahkan peserta didik pada pengembangan bakat, minat, da keterampilan. Ketiga, mendukung pemerintah dalam pengembangan program double degree untuk jenjang pendidikan sarjana, magister dan doctoral.
Apa yang bisa kita simpulkan mengenai politik pendidikan nasional, khususunya berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan nasional, yang bisa dibanggakan prestasiny, yang bisa berkiprah di dunia internasional, ternyata prestasi kita masih bersifat personal. Ini tidak lain karena kita menerapkan kebijakan kualitas pendidikan dilakukan secara parsial, sepenggal-penggal dan tidak mampu disinergikan dengan proses pemerataan pendidikan nasional.
BAB VIII
PARADOKS KEBIJAKAN KURIKULUM NASIONAL

Perkembangan pendidikan di Indonesia tidak luput dari adanya sistem kurikulum yang dibentuk pemerintah Indonesia.kurikulum kerap berubah setiap ada pergantian Menteri Pendidikan, sehingga mutu pendidikan Indonesia hingga kini belum memenuhi standar mutu yang jelas dan mantap. Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan 2006.Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara.Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya.
 Saya setuju dengan pendapat Beny Susetyo dalam buku nya Muhammad Rifai bahwa “Kurikulum harus bersifat fleksibel dan elastis sehingga terbuka kesempatan untuk memberikan bahan  pelajaran yang penting bagi peserta didik”.
     Karena Dalam pengajaran suatu mata pelajaran hendaknya disesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah. Dan dalam pelaksanaan kegiatan, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Dalam mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen (terbuka, dimungkinkan lebih dari satu jawaban) dan penyelidikan.

Kurikulum merupakan alat yang sangat penting bagi keberhasilan suatu pendidikan. Tanpakurikulum yang sesuai dan tepat akan sulit untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikanyang diinginkan. Dalam sejarah pendidikan di Indonesia sudah beberapa kali diadakan perubahan dan perbaikan kurikulum yang tujuannya sudah tentu untuk menyesuaikannyadengan perkembangan dan kemajuan zaman, guna mencapai hasil yang maksimal.

Perubahan kurikulum didasari pada kesadaran bahwa perkembangan dan perubahan yangterjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia tidak terlepasdari pengaruh perubahan global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta senidan budaya. Perubahan secara terus menerus ini menuntut perlunya perbaikan sistem pendidikan nasional, termasuk penyempurnaan kurikulum untuk mewujudkan masyarakatyang mampu bersaing dan menyesuaikan diri dengan perubahan.

Perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia dewasa ini salah satu diantaranya adalah karena ilmu pengetahuan itu sendiri selalu dinamis. Selain itu, perubahan tersebut jugadinilainya dipengaruhi oleh kebutuhan manusia yang selalu berubah juga pengaruh dari luar,dimana secara menyeluruh kurikulum itu tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi oleh prubahan iklim ekonomi, politik, dan kebudayaan. Sehingga dengan adanya perubahankurikulum itu, pada gilirannya berdampak pada kemajuan bangsa dan negara. Kurikulum pendidikan harus berubah tapi diiringi juga dengan perubahan dari seluruh masyarakat pendidikan di Ind onesia yang harus mengikuti perubahan tersebut, karena kurikulum itu bersifat dinamis bukan stasis, kalau kurikulum bersifat statis maka itulah yang merupakan kurikulum yang tidak baik.
Menurut Winarko surakhmad, ada empat persoalan dan factor yang memengaruhi keberadaan kurikulum menjadi persoalan bagi pendidikan nasional kita, yaitu sebagai berikut :
v  Faktor yang bersumber Dario birokrasi,  terutama adanya harapan dan perlakuan yang berlebihan dikalangan birokrat mengenai peran kurikulum
v  Faktor yang bersumber dari penyusun kurikulum, terutama karena lemahnya filosofis dan psikologis dalam penjabaran program kurikulum
v  Faktor yang bersumber dari pelaksana kurikulum, terutama karena tingkat kompetensi dan profesionalisme yang kurang mendukung dikalangan guru
v  Faktor yang bersumber dari ekosistem pendidikan.

BAB IX
PARADOKS KEBIJAKAN UN

Memang, tujuan dari diselenggarakannyaUAN stersebut sangat mulia, yaitu untuk mencari sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas. Apalagi, dalam arus globalisasi dan pasar bebas, mencari kualitas pendidikan yang handal dan unggul bisa dikatakan sangat mendesak, mengingat tantangan-tantangan yang akan kita hadapi nantinya tidak saja usaha membangun sebuah “generasi emas” pendidikan, ia juga melibatkan unsur-unsur tersebut untuk mengantisipasi membludaknya persaingan ketat di era informasi sekarang ini.
Saya setuju dengan pendapat Muhammad Rifai bahwa “ Cita-cita besar membangun bangsa Indonesia kandas disebabkan sistem UN yang tidak memihak”. Bagaimana tidak, UAN yang sedianya akan diselenggarakan pemerintah nantinya, dianggap oleh banyak kalangan sebagai bentuk nyata dari praktek yang hanya menguntungkan minoritas orang kaya dan mengorbankan mayoritas orang miskin yang jelas-jelas sangat membutuhkan pendidikan untuk meningkatkan derajat atau taraf kehidupannya.
Betapa tidak, proyek UAN yang berdalih untuk meningkatkan mutu pendidikan harus terjebak pada batu karang fakta bahwa anggaran UAN sekitar Rp. 250 miliar tersebut hanya akan menghancurkan generasi muda pendidikan hanya karena standarisasi yang kebablasan untuk “ukuran intelektualitas” masyarakat Indonesia secara umum.Sebab, dapat diduga sebagian dari mereka yang akan gagal nantinya kemungkinan besar dari masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah. Bahwa tentunya asumsi tidak hadir dengan sendirinya, tetapi kenyataan membuktikan bahwa sekolah-sekolah favorit (unggulan) yang secara pasti lebih mahal dan ditunjang dengan fasilitas serba “wah” dan juga pengajar berkelasdan berkualitas menjadi sangat memungkinkan untuk mecapai nialai yang melampui standar yang ditetapkan.
Tetapi bagaimana dengan keadaan siswa yang “pas-pasan”, yang hanya mampu membayar sekolah kelas dua atau kelas tiga dan seterusnya, dan dengan fasilitas sekolah maupun pengajar “ala kadarnya”? Padahal mayoritas pendidikan (sekolah) kita masih berada di bawah standard dan di huni oleh siswa-siswa yang miskin secara financial. Logika ini berarti bahwa orang tua atau wali murid tidak mempunyai pilihan lain kecuali memasukkan anak-anak mereka di sekolah yang tidak diunggulkan. Di beberapa tempat diprediksi akan mengalami ketidaklulusan cukup besar tahun ini, mencapai 40 persen. Jika kita harus berkaca pada dugaan ini, tentu saja, kesenjangan pendidikan antara si kaya dan si miskin memang sangat sulit untuk dielakkan. Pemerataan mutu pendidikan yang diinginkan dengan standar UAN yang baru ini justru menghasilkan kuota kesenjangan yang semakin besar dan tidak bisa dihindari. Sebab, hampir mustahil, sekolah dengan fasilitas dan pengajar “seadanya” mampu mengangkat kualitas peserta didik untuk menyamai kualitas siswa yang notabene berada di lingkungan sekolah unggulan.
pendidikan yang seharusnya mencerdaskan malah berbalik menjadi “menindas”. Artinya, kriteria 5,00 menjadi sangat paradoks menilik kondisi pendidikan kita selama ini. UAN yang pada dasarnya bertujuan untuk mencetak SDM berkualitas, alih-alih, ia malah menderitakan dan memojokkan sebagian besar siswa untuk berprestasi.Penjelasan di atas berarti, oleh karena hanya “kecongkakan” pihak pemerintah yang ingin mengangkat Indonesia “setinggi langit” di mata publik internasional, sementara itu, pemerintah sendiri tidak berusaha melihat secara mendalam dan bijak terhadap persoalan krusial pendidikan kita yang masih dalam taraf “belajar’.
Sistem pendidikan Indonesia ternyata masih mengunggulkan keceerdasan intelektual. Tidak ada sedikitpun tempat untuk kecerdasan-kecerdasan lain untuk menjadi penentu kelulusan seseorang. Karena itu tidak aneh jika sekarang banyak peserta didik  yang mengalami depresi berat. Hal ini disebabkan mereka dianggap bodoh, dan tidak mampu lagi melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya.
Ada beberapa hal yang bisa disimpulkan dari kebijakan politik UN. Pertama, pemerintah memberlakukan kebijakan tersebut dengan menciptakan situasi yamg menekan, peserta didik terbebani, begitu pula orangtua didik. Kemudian pola sentralistik dari kebijakan UN tersebut dalam menentukan kecerdasan dan kelulusan sebenarnya tidak sesuai idealitasdemokratisasi pendidikan dan desentralisasi pendidikan.

BAB X
PARADOKS KEBIJAKAN
 DESENTRALISASI PENDIDIKAN

Desentralisasi pendidikan merupakan salah satu model pengelolaan pendidikan yang menjadikan sekolah sebagai proses pengambilan keputusan dan merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta sumber daya manusia termasuk profesionalitas guru yang belakangan ini dirisaukan oleh berbagai pihak baik secara regional maupun secara internasional.
Kelahiran desentralisasi pendidikan tidak terlepaskan dari kemunculan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Desentralisasi lahir dari semangat kemandirian daerah agar terjadi peningkatan, perluasan, pemerataan dan kesempatan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan murah dan berkualitas. Ada harapan, desentralisasi mampu membuat partisipasi masyarakat dan mewujudkan fungsi manajemen pendidikan kelembagaan.
Problema pendidikan harus menjadi perhatian kita bersama sebab pendidikan merupakan suatu kebutuhan demi berlangsungnya proses pengembangan sumber daya manusia Indonesia kini dan akan datang. Namun melihat dinamika pendidikan di daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten masih jauh dari harapan. Tentunya hal ini menjadi satu pertanyaan dan harus dicari cara penyelesaiannya Sejak lahirnya otonomi daerah ( Otda ) UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah penghapusan system sentralisasi pusat yang selama ini menajdi pokok masalah dalam dinamika pembangunan daerah, tujuan diberlakukannya aturan ini adalah pemerintah pusat memberikan kebebasan dan kewenangan keapda pemerintah daerah untuk menjalankan roda pemerintahan di daerah dalam arti sempit adalah memandirikan daerah.Istilah desentralisasi (pelimpahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah) merupakan satu terobosan dalam peroses pembangunan di daerah. 
Namun bila dikaji kembali sudahkah penerapan otonomi daerah menjawab harapan masyarakat akan kemajuan dan kesejahteraan.Secara khusus bagaimana keberadaan otonomi daerah akan kemajuan pendidikan di daerah. Pemerintah pusat telah memberikan ruang kepada pemerintah daerah akan pendidikan didaerah yaitu dengan menerapkan desentralisasi pendidikan. Desentralisasi pendidikan merupakan salah satu model pengelolaan pendidikan yang menjadikan sekolah sebagai proses pengambilan keputusan dan merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta sumber daya manusia termasuk profesionalitas guru yang belakangan ini dirisaukan oleh berbagai pihak baik secara regional maupun secara internasional. 
Saya setuju dengan pernyataan M.Sirozi dalam bukunya Muhammad Rifai bahwa “Otonomi daerah membuka peluang bagi pemerintah dan masyarakat untuk mengoptimalisasikan peran institusi pendidikan dalam menunjang pembangunan daerah”. Karena otonomi daerah memberi ruang bagi pemerintah daerah dan masyarakat untuk menentukan jalannya pembangunan daerahtermasuk dibidang pendidikan terutama era demokratisasi pendidikan yaitu diberikannya otoritas pemerintah dan masyarakat di daerah dalam mengembangkan pendidikan dengan ketentuan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatifmenjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dankemajemukan bangsa. Artinya: pendidikan diselenggarakan dengan keterlibatan masyarakat dan otoritas pengelola serta institusi-institusi pendukungnya. Bersamaan dengan itu pula masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi pendidikan, sesuai amanat pasal 4 ayat 1 dan 9 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. 
Demokratisasi dan desentralisasi pendidikan itu memberi tanggung jawab pemerintah daerah dalam dua hal: pertama, desentralisasi kewenangan di sektor pendidikanyang berorientasi kepada kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kedua, desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah. Dinamika format kebangsaan sejak merdeka hingga zaman reformasi ini memang memberi nuangsa dan warna terhadap pendidikan, simak saja terjadinya berbagai perubahan kurikulum dan kebijakan pendidikan yang pernah dan telah terjadi di negara tercinta ini, bahkan ada kesan ganti menteri ganti kurikulum (Kurikulum berbasis Kompetensi, KTSP dan UN) yang masih menjadi polemik diantara pakar pendidikan saat ini belum terlihat ujungnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar