Rabu, 24 Juni 2015

makalah hak & kewajiban suami istri dan hadhanah



MAKALAH
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI DAN HADHANAH

Disusun guna memenuhi tugas :
Mata kuliah: Fiqih 2
Dosen Pengampu: H. Ubaidillah M.S.I


Description: D:\STIKAP\SEMESTER VI\STUDI TOKOH\LOGO STAIKAP.jpg



Disusun oleh:
Nur Fatma
Moh. Aban Falahi
Kelas: T3A

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM KI AGENG PEKALONGAN
(STAIKAP)
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan Makalah ini. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada nabi Muhammad Saw
Makalah ini berisikan tentang Hak dan Kewajiban Suami Istri dan Hadhanah. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi dan menambah wawasan kepada kita semua
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.


Pekalongan, April 2015

Penyusun


DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN
A.    Latar belakang masalah.............................................................................. 1
B.     Rumusan masalah...................................................................................... 1
C.     Tujuan penulisan makalah.......................................................................... 1
D.    Sistematika penulisan makalah.................................................................. 2
BAB II : PEMBAHASAN
A.    Pengertian hak dan kewajiban............................................................... 3
B.     Hak dan Kewajiban Suami terhadap terhadap Istri dan Sebaliknya
........................................................................................................ ....... 4
C.     Pengertian, Dasar Hukum dan yang Berhak Melakukan Hadhanah
........................................................................................................ ....... 8
D.    Syarat-syarat, Masa dan Upah Hadhanah …..…………………..       11

BAB III : PENUTUP
Simpulan....................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 16







BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perlu diketahui bahwa kehidupan rumah tangga tidak lepas dari permasalahan, baik masalah yang sepele hingga masalah yang membutuhkan kedewasaan berpikir agar terhindar dari pertengkaran yang berkepanjangan.  Sehingga hal ini membutuhkan saling memahami antar suami istri, perlu mengetahui hak dan kewajiban suami terhadap isteri atau hak dan kewajiban isteri terhadap suami.
Dewasa ini banyak kasus perceraian yang terjadi di kalangan masyarakat, apapun alasannya mengapa kalangan masyarakat sering terjadi kasus perceraian, mungjin  mereka belum banyak memahami hak dan kewajiban suami terhadap istri atau sebaliknya. Maka dipandang perlu untuk kita mengkaji dan membahas hal tersebut secara mendalam.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Apa pengertian hak dan kewajiban suami istri?
2.      Bagaimana hak dan kewajiban suami terhadap istri dan sebaliknya?
3.      Apa pengertian, dasar hukum dan yang berhak hadlanah?
4.      Apa syarat-syarat, Masa dan Upah Hadhanah ?

C.    Tujuan penulisan makalah
Tujuan kami menulis makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah manajemen mutu pendidikan, selain itu juga untuk menambah pengetahuan dan wawasan kita semua tentang hak dan kewajiban suami terhadap istri atau sebaliknya dan pengertian hadlanah serta hukumnya.

D.    Sistematika Penulisan Makalah
Makalah ini disusun dalam tiga bagian. Adapun sistematika penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
Bab I, bagian pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan makalah dan sistematika penulisan makalah.
Bab II, bagian pembahasan yang membahas tentang hak dan kewajiban suami terhadap istri dan sebaliknya, serta
Bab III, bagian penutup, kesimpulan, daftar pustaka




BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Hak dan Kewajiban
Hak adalah kekuasaan seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan Kewajiban adalah sesuatu yang harus dikerjakan. Membicarakan kewajiban dan hak suami istri, terlebih dahulu kita membicarakan apa yang dimaksud dengan kewajiaban dan apa yang dimaksud dengan hak. Adalah Drs. H. Sidi Nazar Bakry dalam buku karangannya yaitu Kunci Keutuhan Rumah Tangga Yang Sakinah mendefinisikan kewajiban dengan sesuatu yang harus dipenuhi dan dilaksanakan dengan baik. Sedangkan hak adalah sesuatu yang harus diterima.
Lantas, pada pengertian diatas jelas membutuhkan subyek dan obyeknya. Maka disandingkan dengan kata kewajiban dan hak tersebut,dengan kata suami dan istri, memperjelas bahwa kewajiban suami adalah sesuatu yang harus suami laksanakan dan penuhi untuk istrinya. Sedangkan kewajiban istri adalah sesuatu yang harus istri laksanan dan lakukan untuk suaminya. Begitu juga dengan pengertian hak suami adalah,sesuatu yang harus diterima suami dari isterinya. Sedangkan hak isteri adalah sesuatu yang harus diterima isteri dari suaminya. Dengan demikian kewajiban yang dilakukan oleh suami merupakan upaya untuk memenuhi hak isteri. Demikian juga kewajiban yang dilakukan istri merupakan upaya untuk memenuhi hak suami, sebagaiman yang Rosulullah SAW jelasakan :

اﻻ إن ﻟﮝﻢ ﻋﻠﻰ ﻧﺴﺎﺋﮝﻢ ﺣﻗﺎ ﻮﻟﻨﺴﺎﺋﮝﻢﻋﻠﻴﮑﻢ ﺣﻗﺎ
: ‘’ Ketahuilah sesungguhnya kalian mempunyai hak yang harus (wajib) ditunaikan oleh istri kalian,dan kalian pun memiliki hak yang harus (wajib) kalian tunaikan". (Hasan: Shahih ibnu Majah no.1501.Tirmidzi II:315 no:1173 dan ibnu Majah I:594 no:1851).[1]
B.  Hak dan Kewajiban Suami terhadap terhadap Istri dan Sebaliknya
1.    Hak dan kewajiban Istri
Hak hak istri yang menjadi kewajiban suami dapat dibagi dua : hak-hak kebendaan, yaitu mahar (mas kawin) dan nafkah, hak hak bukan kebendaan, misalnya berbuat adil diantara para istri (dalam perkawinan poligami), tidak berbuat yang merugikan istri dan sebagainya.
a.    Hak-Hak Kebendaan
Ø Mahar (Mas Kawin)
Q.S an-Nisa’: 24 memerintahkan, “Dan berikanlah mas kawin kepada permpuan-perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian wajib. Apabila mereka dengan senang hati memberikan mas kawin itu kepadamu, ambillah dia sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.”
Dari ayat Al-Quran tersebut dapat diperoleh suatu pengertian bahwa mas kawin itu adalah harta pemberian wajib dari suami kepada istri, dan merupakan hak penuh bagi istri yang tidak boleh diganggu oleh suami, suami hanya dibenarkan ikut makan mas kawin apabila telah diberikan oleh istri dengan suka rela.
Ø Nafkah
Yang dimaksud dengan nafkah adalah adalah mencukupkan segala keperluan istri, meliputi makanan, pakaian tempat tinggal, pembantu rumah tangga, dan pengobatan, meskipun istri tergolong kaya.
Q.S Al-Baqarah : 233 mengajarkan, “Dan ayah berkewajiban mencukupkan kebutuhan makanan dan pakaian untuk para ibu dan anak-anak dengan syarat yang ma’ruf.”
Ayat berikunya (Ath-Thalaq: 7) memerintahkan, “Orang yang mampu hendaklah memberi nafkah menurut kemampuanya, dan orang kurang mampupun supaya memberi nafkah dari pemberian Allah kepadanya, Allah tidak akan membebani kewajiban kepada seseorang melebihi pemberian Allah kepadanya…”
Hadist riwayat Mustli, menyebutkan isi khotbah Nabi dalam haji wada’, antara lain sebagai berikut, “…takutlah kepada Allah dalam menunaikan kewajiban terhadap istri-istri, kamu telah memperistri mereka atas nama Allah, adalah hak kamu bahwa istri-istri itu tidak menerima tamu orang yang tidak kau senangi, kalau mereka melakukanya, boleh kamu beri pelajaran denan pukulan pukulan kecil yang tidak melukai, kamu berkewajiban mencukupkan kebutuhan istri mengenai makanan dan pakaian dengan makruf.”
b.   Hak-Hak Bukan Kebendaan
Hak-hak bukan kebendaan yang wajib ditunaikan suami terhadap istrinya, disimpulkan dalam perintah QS an-Nisaa : 19 agar para suami menggauli istri-istrinya dengan makruf dan bersabar terhadap hal-hal yang tidak disenangi, yang terdapat pada istri. Menggauli istri dengan makruf dapat mencakup :
Ø Sikap menghargai, menghormat, dan perlakuan-perlakua n yang baik, serta meningkatkan taraf hidupnya dalam bidang-bidang agama, akhlak, dan ilmu pengetahuan yang diperlukan.
Ø Melindungi dan menjaga nama baik istri.
Ø Memenuhi kebutuhan kodrat (hajat) biologis istri
Zaman Nur, mejelaskan hak istri yang bukan kebendaan antara lain:
v  Bergaul dengan perlakuan yang baik.Kewajiban suami kepada istrinya supaya menghormati istri tersebut, bergaul kepadanya denan cara yang baik, memperlakukanya dengan cara yang wajar, mendahulukan kepentingannya dalam hal sesuatu yang perlu didahulukan, bersikap lemah lembut dan enahan diri dari al-hal yang tidak menyenangkan hati istri.
v  Menjaga istri dengan baik. Suami berkewajiban menjaga istriya, memelihara istri dan segala sesuatu yang menodai kehormatanya, menjaga harga dirinya, mejunjung tinggi kehormatan dan kemulianya, sehingga citranya menjadi baik
v  Suami mendatangi istrinya suami wajib memberikan nafkah batin kepada istrinya sekurang-kurangnya satu kali sebulan jika ialah mampu. Imam Syafi’i berpendapat memberikan nafkah bathin itu tidak wajib karena memberikan nafkah batin itu adalah hak suami bukan merupakan kewajibanya, jadi terserah kepada suami itu sendiri apakah ialah mau atau tidak menggunakan haknya.Imam Ahmad menetapkan bahwa suami wajib memberi nafkah bathin kepada istrinya empat bulan sekali. Kalau suami meninggalkan istrinya batas waktunya paling lama 6 bulan.
2.    Hak dan Kewajiban Suami
Hak-hak suami yang wajib dipenuhi istri hanya merupakan hak-hak bukan kebendaan sebab menurut hukum Islam istri tidak dibebani kewajiban kebendaan yang diperlukan untuk mencukupkan kebutuhan keluarga. Bahkan, lebih diutamakan istri tidak usah ikut bekerja mencari nafkah jika suami memang mampu memenuhi kewajiban nafkah keluarga dengan baik. 
Hak-hak suami dapat disebutkan pada pokoknya ialah hak ditaati mengenai hal-hal yang menyangkut hidup perkawinan dan hak memberi pelajaran kepada istri dengan cara yang baik dan layak dengan kedkan suami istri.
a.    Hak Ditaati
QS an-Nisaa’: 34 mengajarkan bahwa kaum laki-laki (suami) berkewajiban memimpin kaum perempuan (istri) karena laki-laki mempunyai kelebihan ataskaum perempuan(dari segi kodrat kejadianya), dan adanya kewajiban laki-laki meberi nafkah untuk keperluan keluarganya. Istri-istri yang saleh adalah yang patuh kepada Allah dan jepada suami-suami mereka serta memelihara harta benda dan hak-hak suami, meskipun suami-suami mereka dalm keadaan tidak hadir, sebagai hasil pemeliharaan Allah serta taufik-Nya kepada istri-istri itu.
1)   Istri supaya bertempat tinggal bersama suami yang telah disediakan
Istri berkewajiban memenuhi hak suami bertempat tingal di rumah yng telah disediakan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a)    Suami telah memenuhi kewajiban membayar mahar untuk istri
b)   Rumah yang disediakan pantas menjadi tempat tinggal istri serta dilengkapi dengan perabot dan alat yang diperlukan untuk hidup berumah tangga secara wajar, sederhana, tidak melebihi kekuatan suami.
c)    Rumah yang disediakan cukup menjamin keamanan jiwa dan harta bendanya, tidak terlalu jauh dengan tetangga dan penjaga-penjaga keamanan.
d)   Suami dapat menjamin keselamatan istri ditempat yang disedikan.
2)   Taat kepada perintah-perintah suami, kecuali apabila melanggar larangan Allah.
Istri wajib memenuhi hak suami, taat kepada perintah-perintahnya apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a)    Perintah yang dikeluarkan suami termasuk hal-hal yang ada hubunganya dengan kehidupan rumah tangga. Dengan demikian, apabia misalnya suami memerintahkan istri untuk membelanjakan harta milik pribadinya suami keinginan suami, istri tidak wajib tat sebab pembelanjan harta milik pribadi istri sepenuhnya menjadi hak istri yang tidak dapat sicampuri oleh suami.
b)   Perintah yang harus sejalan dengan ketentuan syariah. Apabila suami memerintahkan istri untuk mejalankan hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan syariah, perintah itu tidak boleh ditaati. Hadist Nabi riwayat Bukhari, Muslom, Abu, Dawud, dan Nasai dari Ali mengajarkan, “Tidak dibolehkan taat kepada seorangpun dalm bermaksiat kepada Allah, taat hanyalah pada hal-hal yang Makruf.”
c)     Suami memenuhi kewajiban-kewajibannya yang menjadi hak istri, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat bukan kebendaan.
3)   Berdiam dirumah, tidak keluar kecuali dengan izin suami
Istri wajib berdiam dirumah dan tidak keluar kecuali dengan izin suami apbila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a)    Suami telah memenuhi kewajiban membayar mahar untuk istri.
b)   Larangan keluar rumah tidak memutuskan hubungan keluarga. Dengan demikian, apabila suami melrang istri menjenguk kelurga-keluarganya, istri tidak wajib tat. Ia boleh keluar untuk berkunjung, tetapi tidak boleh bermalam tanpa izin suami.
4)   Tidak menerima masuknya seseorang tanpa izin suami
Hak suami agar tidak menerima masuknya seseorang tanpa izinnya, dimaksudkan agar ketentraman hidup rumah tangga tetap terjaga. Ketentuan tersebut berlaku apabila orang yang datang adalah mahramnya, dibenarkan menerima kehadiran mereka tanpa izin suami.
b.   Hak Memberi Pelajaran
Bagian kedua dari Ayat 34 QS An-Nisa mengajarkan, apabila terjadi kekhawatiran suami bahwa istrinya bersikap membangkang (nusyus), hendaklah diberi nasehat secara baik-baik. Apabila dengan nasehat, pihak istri belum juga mau taat, hendaklah suami berpisah tidur sama istri. Apabila masih belum juga mau taat, suami dibenarkan memberi pelajaran dengan jalan memukul (yang tidak melukai dan tidak pada bagian muka).[2]
C.  Pengertian, Dasar Hukum dan yang Berhak Melakukan Hadhanah
a.    Pengertian Hadhanah
Kata hadhanah adalah bentuk mashdar dari kata hadhnu ash-shabiy, atau mengasuh atau memelihara anak. Mengasuh (hadhn) dalam pengertian ini tidak dimaksudkan dengan menggendongnya dibagian samping dan dada atau lengan.
Secara terminologis, hadhanah adalah menjaga anak yang belum bisa mengatur dan merawat dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga dirinya dari hal-hal yang dapat membahayakan dirinya. Hukum hadhanah inihanya dilaksanakan ketika pasangan suami istri bercerai dan memiliki anak yang belum cukup umur untuk berpisah dari ibunya. Hal ini diseabkan karena sianak masih perlu penjagaan, pengasuhan, pendidikan, perawatan dan melakukan berbagai hal demi kemaslahatannya. Inilah yang dimaksu dengan perwalian (wilayah).[3]
b.   Dasar Hukum Hadhanah
            Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya adalah wajib, sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak dan istri dalam firman Allah pada surat Al-Baqarah ayat 233:
وعلى المولود له  رزقهن وكسوتهن بالمعزوف  
”adalah kewajiban ayah untuk memberi nafkah dan pakaian untuk mereka (anak dan istrinya).” (QS. Al-Baqarah: 233)
Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukanlah hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian.
Apabila bercerai dua suami istri, maka hak memelihara anak dipegang ibu, sehingga anak tersebut sampai umur tujuh tahun. Sesudah itu ditakhyirkan (disuruh pilih kepada sang anak: siapa ia suka buat pemeliharaannya), lalu diserahka kepada siapa yang dipilih si anak itu.[4]

c.    Yang Berhak Melakukan Hadhanah
Ø Kalangan Madzhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang palin berhak mengasuh anak adalah:
1)   Ibu kandungnya sendiri
2)   Nenek dari pihak ibu
3)    Nenek dari pihak ayah
4)   Saudara perempuan (kakak perempuan)
5)   Bibi dari pihak ibu
6)   Anak perempuan saudara perempuan
7)   Anak perempuan saudara laki-laki
8)    bibi dari pihak ayah
Ø Kalangan Madzhab Maliki berpendapat bahwa urutan hak anak asuh dimulai dari:
1)   Ibu kandung
2)   Nenek dari pihak ibu
3)   Bibi dari pihak ibu
4)   Nenek dari pihak ayah
5)   Saudara perempuan
6)   Bibi dari pihak ayah
7)   Anak perempuan dari saudara laki-laki
8)   Penerima wasiat
9)   Dan kerabat lain (ashabah) yang lebih utama
Ø Kalangan Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa hak anak asuh dimulai dari:
1)   Ibu kandung
2)   Nenek dari pihak ibu
3)   Nenek dari pihak ayah
4)   Saudara perempuan
5)   Bibi dari pihak ibu
6)   Anak perempuan dari saudara laki-laki
7)   Anak perempuan dari saudara perempuan
8)   Bibi dari pihak ayah
9)   Dan kerabat yang masih menjadi mahram bagi sianak yang mendapatkan bagian warisan ashabah sesuai dengan urutan pembagian harta warisan. Pendapat Madzhab Syafi’i sama dengan pendapat madzhab Hanafi.
Ø Kalangan Madzhab Hanbali
1)        Ibu kandung
2)        Nenek dari pihak ibu
3)        Kakek dan ibu kakek
4)        Bibi dari kedua orang tua
5)        Saudara perempuan se ibu
6)        Saudara perempuan seayah
7)        Bibi dari ibu kedua orangtua
8)        Bibinya ibu
9)        Bibinya ayah
10)    Bibinya ibu dari jalur ibu
11)    Bibinya ayah dari jalur ibu
12)    Bibinya ayah dari pihak ayah
13)    Anak perempuan dari saudara laki-laki
14)    Anak perempuan dari paman ayah dari pihak ayah
15)    Kemudian kalangan kerabat dari urutan yang paling dekat.[5]
D.  Syarat-syarat, Masa dan Upah Hadhanah  
a.    Syarat Mendapatkan Hak Asuh Anak (Hadhanah)
Kalangan ahli fiqih menyebutkan sejumlah syarat untuk mendapatkan hak asuh anak yang harus dipenuhi. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka hak asuh anak hilang, syarat-syarat tersebut adalah:
Ø Syarat pertama dan kedua, berakal dan telah baligh, sebab kelompok ini masih memerlukan orang yang dapat menjadi wali atau bahkan mengasuh mereka. Jika mereka masih membutuhkan wali dan membutuhkan pengasuha, maka merekpun tidak pantas untuk menjadi pengasuh untuk orang lain.
Ø Syarat ketiga, Agama yang mengasuh haruslah sama dengan agama anak yang diasuh, sehingga orang kafir tidak berhak mengasuh anak Muslim. Hal ini didasarkan pada dua hal:
1)      Orang yang mengasuh pasti sangat ingin anak yang diasuhnya sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. dan ini adalah bahaya terbesar yang dialami sianak. Dan telah dijelaskan dalam :“rsabda Rasulullah Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan dia sebagai Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR Bukhari dan Muslim) Hadits ini menunjukkan bahwa agama anak tidak aman jika diasuh oleh orang kafir.
2)      Hak asuh anak itu sama dengan perwalian.  berfirman :IAllah
dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS Ani-Nisaa’:141)
Ø Syarat ke empat, mampu mendidik, sehingga orang yang buta, sakit, terbelenggu dan hal-hal lain yang dapat membahayakan atau anak disia-siakan maka tidak berhak mengasuh anak.
Ø Syarat kelima, ibu kandung belum menikah lagi dengan lelaki yang lain, berdasarkan sabda rNabi  : “Kamu lebih berhak dengannya selama kamu belum menikah lagi” (hasan. ditakhrij oleh Abud Dawud 2244 dan An-Nasa’i 3495).
b.   Masa pengasuhan anak
Menurut Rahman, tidak ada keterangan yang jelas dari Al-Quran dan Hadits yang menerangkan tentang masa hadhanah, hanya ada isyarat yang menerangkan ayat tersebut. Karena itu para ulama berijtihad sendiri dalam menetapkan batas waktu dalam pemeliharaan anak. Adapun pendapat tentang batas waktu hadhanah yang ditentukan oleh Imam Mazhab sbb:
Ø Menurut imam Hanafi, batas hadhanah bagi anak laki-laki adalah hingga ia bisa mengurus dirinya sendiri, dalam arti anak tersebut sudah mampu makan, minum, mengatur pakaian dsb. Sedangkan masa hadhanah bagi anak perempuan adalah apabila telah baligh, atau telah datang masa haid pertamanya. Sehingga kalau dihitung dengan jumlah tahun menurut imam Hanafi yaitu, bagi anak laki-laki berumur 19 tahun dan bagi anak perempuan berumur 11 tahun.
Ø Menurut imam Syafi’i batas minimal berakhirnya hadhanah yaitu jika anak sudah mumaiyiz, baik anak laki-laki maupun perempuan, sehingga bila diperkirakan dengan hitungan tahun yaitu antara 5 dan 6 tahun.
Ø Menurut Abdul Azzim bahwa batas mumaiyiz seorang anak untuk dapat menentukan pilihannya adalah 7 tahun, sehingga waktu pengasuhan anak ditetapkan selama 7 tahun
Dalam kompilasi hukum islam, yang dirujuk oleh M. Ali Hasan bahwa seorang anak yang belum mumaiyyiz adalah berumur 12 tahun, dan hak asuh diberikan kepada seorang ibu.[6]
c.    Upah Hadhanah
Seorang ibu berhak atas upah hadhanah, selama ia masih menjadi isteri dari ayah anak itu, atau selama dalam masah iddah. Karena dalam keadaan tersebut ia masih mempunyai nafkah sebagai isteri atau nafkah masa iddah.
Allah swt berfirman, Q.S Al-Baqarah-233:
رزقهن المولودلهوعلى .الرضاعه يتمان اراد لمن كاملين حولينا ولادهن يرضعن والوالدات
 (233:البقرة).....بالمعروف وكسوتهن
Artinya: “para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyususan. Dan kewajiban ayah memberikan makanan dan pakaian kepada ibu dengan cara yang ma’ruf”.
Adapun setelah habis masa iddahnya, maka ia (ibu) berhak atas upah seperti haknya sebagai upah menyusui. Allah berfirman, Q.S At-Thalaq-6:
 اخرى له فسترضع تعاسرتم وان بمعروف بينهم واتمروا اجورهن فاتوهن
“maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahlah diantara kamu (segala sesuatu) dengan baik, dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyususkan (anak itu) untuknya”.
Perempuan selain ibunya boleh menerima upah hadhanah sejak ia menangani hadhanahnya. Seperti halnya perempuan penyusu yang bekerja menyusui anak kecil dengan bayaran upah (upah). Seorang ayah wajib membayar upah penyususan dan hadhanah, juga wajib mebayar ongkos sewa rumah atau perlengkapannya jika sekiranya si ibu tidak memiliki tempat tinggal sendiri sebagai tempat pengasuhannya.[7]

BAB III
PENUTUP


SIMPULAN
               Dari uraian penulisan makalah tersebut dapat kami simpulkan bahwa Hak dan kewajiban Istri yaitu Hak hak istri yang menjadi kewajiban suami dapat dibagi dua : hak-hak kebendaan, yaitu mahar (mas kawin) dan nafkah, hak hak bukan kebendaan, misalnya berbuat adil diantara para istri (dalam perkawinan poligami), tidak berbuat yang merugikan istri dan sebagainya. Hak dan kewajiban suami yaitu Hak-hak suami dapat disebutkan pada pokoknya ialah hak ditaati mengenai hal-hal yang menyangkut hidup perkawinan dan hak memberi pelajaran kepada istri dengan cara yang baik dan layak dengan kedkan suami istri.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Azhar Basyir, 2007 Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press
Sabiq, Sayyid. 2007.  Fiqh Sunnah, Jakarta : Pena Pundi Aksara
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad. 1986 Fiqih Wanita. diterjemahkan oleh Ansori Umar Sitanggal, Semarang : ASY-SYIFA
Ayyub, Syaikh Hasan. 2008 , Fiqh Keluarga, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,
Hasan, M. Ali. 2003. pedoman hidup berumah tangga dalam islam, Jakarta: Prenada Media






[1] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam. (Yogyakarta: UII Press, 2007), hlm.223
[2] Ibid., hlm.225
[3] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2007), hlm.237
[4] Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Wanita,  diterjemahkan oleh Ansori Umar Sitanggal, (Semarang : ASY-SYIFA, 1986), hlm.451
[5] Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2008),  hlm.454
[6] M. Ali Hasan, pedoman hidup berumah tangga dalam islam, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal.195
[7] Ibid., hlm.197

Tidak ada komentar:

Posting Komentar